KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadiran Allah SWT atas
Ridha-Nya yang telah diberikan kepada kita semua sehingga telah dapat
menyelesaikan makalah ini sebagaimana mestinya.
Tujuan penulis yaitu untuk
melengkapi salah satu tugas-tugas wajib yang bejudul “Kebijakan Pertanian”.
Di dalam karya tulis ini ada kalanya
kami mendapat kesulitan-kesulitan, akan tetapi, berkat bantuan dari segala
pihak kesulitan tersebut dapat teratasi. Oleh karena itu, kami mengucapkan
terima kasih yang sebesarnya kepada:
- Hijri Juliansyah, SP., M.Ec selaku yang telah membimbing kami dalam hal membuat makalah ini.
- Teman-teman kami yang telah memberikan masukan-masukan dalam proses membuat makalah ini.
Kami
menyadari akan adanya kekurangan dan keganjalan dalam penulisan makalah ini, maka
dari itu kami memerlukan kritik dan saran yang membangun demi terciptanya suatu
penyusunan yang lebih baik dan sempurna.
Akhirnya
kami berharap agar laporan ini memberikan manfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan. Serta dapat menjadi pertimbangan dalam pembahasan-pembahasan yang
serupa khususnya buat kami.
Lhokseumawe,
29 Mei 2013
Penulis
Kelompok – Empat (4)
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................................................
i
Daftar isi
…………………………………………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
………………………………………………………………... 1
1.2
Rumusan Masalah
………………………………………………………………………........ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kebijkan
Produksi (Production Policy) 6
2.1.1 Kebijakan Peningkatan Produksi Untuk Mencapai Swasembada
Pangan 9
2.1.2 Diversifikasi
Komoditi 10
2.2 Kebijakan
Subsidi (Subsidy policy) 11
2.2.1 Subsidi
Harga Produksi 12
2.2.2 Subsidi
Harga Faktor Produksi 12
2.3 Kebijakan
Investasi (Investment Policy) 13
2.4 Kebijakan
Harga (Price Policy) 13
2.4.1 Mekanisme
Kebijakan Harga Pasar (Floor Price) 14
2.4.2 Mekanisme
Kebijakan Harga Tertinggi (Ceiling Price) 15
2.4.3 Harga
Perangsang (Price Support) 16
2.5 Kebijakan
Pemasaran (Market Policy) 16
2.5.1 Margin
Pemasaran 17
2.5.2 Keseimbangan
Antartempat 18
2.6 Kebijakan
Konsumsi (Consumption Policy) 18
BAB III KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
…………………………………………………………………………….... 21
3.2 Saran
…………………………………………………………………………………..… 22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG MASALAH
Kebijakan pertanian adalah serangkaian
tindakan yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk
mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum kebijakan pertanian kita adalah
memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif,
produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan
kesejahteraan petani meningkat. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah
baik di pusat maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada
yang berbentuk Undang-undang, Peraturan-peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen,
keputusan Gubernur dan lain-lain. Peraturan ini dapat dibagi menjadi dua
kebijakan-kebijakan yang bersifat pengatur (regulating
policies) dan pembagian pendapatan yang lebih adil merata (distributive policies). Kebijakan yang
bersifat pengaturan misalnya peraturan rayoneering
dalam perdagangan/distribusi pupuk sedangkan contoh peraturan yang sifatnya
mengatur pembagian pendapatan adalah penentuan harga kopra minimum yang berlaku
sejak tahun 1969 di daerah-daerah kopra di Sulawesi.
Campur
tangan pemerintah inilah disebut sebagai “politik pertanian” (agricultural
policy) atau “kebijakan pertanian”. Campur
tangan pemerintah ini diperlukan untuk memutus rantai lingkaran kemiskinan yang
tak berujung pangkal, merupakan gambaran hubungan keterkaitan timbal-balik dari
beberapa karakteristik negara berkembang (seperti Indonesia) berupa sumber daya
yang ada belum dikelola sebagaimana mestinya, mata pencaharian penduduk yang
mayoritas pertanian berlngsung dalam kondisi yang kurang produktif, adanya
dualisme ekonomi ekonomi antara sektor modern yang mengikuti ekonomi pasar dan
sektor tradisional yang mengikuti ekonomi subsistem, serta tingkat pertumbuhan
yang tinggi dengan kualitas sumber daya manusianya yang masih relative rendah.
1.2
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
kebijakan pertanian mempengaruhi keputusan produsen, konsumen, dan para pelaku
pemasaran dalam pelaksanaan pembangunan.
2. Bagaimana sikap dan tindakan pemerintah dalam memajukan
pertanian
3. Apa saja ruang lingkup politik pertanian ?
BAB II
PEMBAHASAN
Snodgrass
dan Wallace (1975) mendefenisikan kebijakan pertanian sebagai usaha pemerintah
untuk mencapai tingkat ekonomi yang lebih baik dan kesejahteraan yang lebih
tinggi secara bertahap dan kontinu melalui pemilihan komoditi yang
diprogramkan, produksi bahan makanan dan serat, pemasaran, perbaikan
structural, politik luar negeri, pemberian fasilitas dan pendidikan. Widodo
(1983) mengemukakan bahwa politik pertanian adalah bagian dari politik ekonomi
di sektor pertanian, sebagai salah satu sektor dalam kehidupan ekonomi suatu
masyarakat.
Menurut
penjelasan ini, politik pertanian merupakan sikap dan tindakan pemerintah atau
kebijaksanaan pemerintah dalam kehidupan pertanian. Kebijaksanaan pertanian
adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan oleh
pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu , seperti memajukan pertanian,
mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan efesien
produksi naik, tingkat hidup petani lebih tinggi, dan kesejahteraan menjadi
merata. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Sarma (1985). Selanjutnya
dikemukakan bahwa tujuan umum politik pertanian di Indonesia adalah untuk
memajukan sektor pertanian, yang dalam pengertian lebih lanjut meliputi:
1. Peningkatan
produktivitas dan efesiensi sektor pertanian
2. Peningkatan
produksi pertanian
3. Peningkatan
taraf hidup dan kesejahteraan petani, serta pemerataan tingkat pendapatan.
Ruang
lingkup politik pertanian meliputi:
1. Kebijakan
produksi (production policy)
2. Kebijakan
subsidi (subsidy policy)
3. Kebijakan
investasi (investment policy)
4. Kebijakan
harga (price policy)
5. Kebijakan
pemasaran (marketing policy)
6. Kebijakan
konsumsi (consumption policy)
Untuk
menjamin tercapainya tujuan-tujuan tersebut, pemerintah mengeluarkan
serangkaian peraturan-peraturan.
Menurut
Monke dan Pearson (1989), politik pertanian dalah campur tangan pemerintah di
sektor pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan efesiensi yang menyangkut
alokasi sumber daya untuk dapat menghasilkan output nasional yang maksimal dan
memeratakan pendapatan, yaitu mengalokasikan
keuntungan pertanian antargolongan dan antardaerah, keamanan persediaan jangka
panjang. Dalam hal ini, kebijakan pertanian dibagi menjadi 3 kebijakan dasar,
antara lain:
1. Kebijakan
komoditi yang meliputi kebijakan harga komoditi, distorsi harga komoditi,
subsidi harga komoditi, dan kebijakan ekspor.
2. Kebijakan
faktor produksi yang meliputi kebijkan upah minimum, pajak dan subsidi faktor
produksi, kebijakan harga faktor produksi, dan perbaikan kualiatas faktor
produksi.
3. Kebijakan
makro ekonomi yang dibedakan menjadi kebijakan anggaran belanja, kebijakan
fiscal, dan perbaikan nilai tukar.
Mubyarto
(1987) menyebutkan bahawa politik pertanian pada dasarnya merupakan kebijakan
pemerintah untuk memperlancar dan mempercepat laju pembangunan pertanian, yang
tidak saja menyangkut kegiatan petani, tetapi juga perusahaan-perusahaan
pengangkutan, perkapalan, perbankan, asuransi, serta lembaga-lembaga pemerintah
dan semi pemerintah yang terkait dengan kegiatan sektor pertanian. Politik
pertanian mempunyai kaitan sangat erat dengan pengembangan sumber daya manusia,
peningkatan efesiensi, serta pembangunan pedesaan yang menyangkut seluruh
aspek-aspek ekonomi, sosial, politik, dan budaya dari penduduk pedesaan.
Sejalan dengan pendapat Schuh (1975). Mubyarto menyebutkan bahwa lingkup
politik pertanian meliputi:
1. Politik
stabilitas jangka pendek
2. Peningkatan
pertumbuhan pertanian
3. Pengaturan
dan pengarahan perdagangan
4. Pengarahan
dan peningkatan mobilitas faktor-faktor produksi pertanian
5. Politik
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengembangan sumber daya
manusia di bidang pertanian.
Dalam
garis besarnya, politik ini minimum berurusan dengan pendapatan, stabilitas,
dan kesempatan yang merupakan unsur utama dalam masalah-masalah usaha tani.
Oleh karena itu, memungkinkan adanya pengertian yang lebih mendalam tentang
masalah-masalah ketidakstabilan dan kompensasi, serta kemiskinan, pengangguran,
dan pendapat yang sangat rendah di pedesaan. Dalam mencapai tujuan tersebut,
perlu adanya perlakuan dan pandangan bahwa masyarakat di pedesaan atau
pertanian tidak kurang pentingnya dari masyarakat keseluruhan dalam mencapai
kesejahteraan masyarakat.
Dalam
pembangunan nasional, sektor pertanian menempati priotitas penting. Sebagai
komoditas pertanian, pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat
mendasar, dianggap strategis, serta sering mencakup hal-hal yang bersifat
emosional dan bahkan politis. Terpenuhinya pangan secara kuantitas dan kualitas
merupakan hal yang sangat penting sebagai landasan bagi pembangunan manusia
Indonesia seluruhnya dalam jangka panjang.
2.1
KEBIJAKAN PRODUKSI (PRODUCTION POLICY)
Masalah
pangan merupakan salah satu masalah nasional yang sangat penting dari
keseluruhan proses pembangunan dan
ketahanan nasional suatu bangsa. Pangan menyankut kesejahteraan hidup dan
kelangsungan hidup suatu bangsa karena merupakan salah satu kebutuhan manusia,
selama itu pula diperlukan pangan karena manusia tidak dapat bertahan hidup
lama tanpa makan.
Kedudukan
pangan di Indonesia adalah salah satu sektor yang sangat strategis karena:
1. Banyaknya
pihak yang terlibat dalam bidang produksi, pengolahan, dn distribusi
2. Meskipun
terlihat ada kecenderungan menurunnya total pengeluaran rumh tangga yang
dibelanjakan untuk konsumsi bahan pangan, namun masih merupakan bagian terbesar
dari seluruh pengeluarannya, terutma untuk pangan beras. Oleh karena itu,
pangan di Indonesia sering diidentikkan dengn beras memberikan sumbangan yang
cukup besar dalam pemenuhan kebutuhan kalori dan gizi penduduk Indonesia.
Mengingat
arti dan peranan pangan yang sangat penting dalam menunjang kehidupan manusia
maka pemerintah Indonesia selalu berusaha untuk mencukupi kebutuhan pangan
penduduknya tidak saja ditinjau dai segi kuantitas, tetapi juga dari segi
kualitas. Penyediaan pangan yang cukup dapat lebih memantapkan stabilitas
ekonomi dan stabilitas nasional.
Penyediaan
pangan dan gizi menjadikan satu sarana yang harus selalu ditingkatkan sebagai
landasan untuk pembangunan manusia Indonesia dalam jangka panjang. Jika
penyediaan pangan tersebut dikaitkan dengan peningkatan mutu dan gizi penduduk
maka dapat membawa konsekuensi yang cukup berat, mengingat jumlah kebutuhan
pangan akan selalu meningkat. Dengan demikian pangan harus tersedia dalam
jumlah yang cukup dan tersebar secara merata di seluruh wilayah Indonesia pada
tingkat harga yang layak, serta terjangkau oleh daya bermasyarakat.
Permasalahan
pangan di Indonesia karna adanya ciri-ciri di bidang konsumsi dan produksi.
Ciri produksi pangan di Indonesia antara lain:
1. Adanya
ketimpangan antara tempat yang berkaitan dengan kerumitan dalam pemasaran dan
distribusinya.
2. Selain
produksi pangan tidak merata menurut tempat, juga tidak merata menurut waktu
yang pada akhirnya akan menimbulkan kendala tambahan dalam struktur distribusi,
serta secara langsung akan berpengaruh terhadap harga yng akan diterima petani
dan yang harus dibayarkan oleh konsumen
3. Produksi
pertanian, khususnya padi-padian setiap tahun selalu berfluktuasi, dipengaruhi
oleh kondisi cuaca, serangan hama dan penyakit tanaman, banjir, bencana alam
dan lain-lain.
4. Produksi
berada ditangan jutaan petani kecil yang tersebar tidak merata dan umumnya
mereka hanya mengusahakan lahan relative sempit kurang daro 0,5 Ha, sehingga
menyulitkan pengumpulan untuk didistribusikan kedaerah laen yang memerlukannya.
Mengingat
upaya untuk mencapai tingkat keseimbangan yang tinggi antara pangan dan
kesempatan kerja adalah hal yang sangat penting tidak saja ditinjau dari
kesejahteraan sosial melainkan juga merupakan usaha yang strategis untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh maka dengan adanya usaha tani
yang areanya sempit dan tersebar tersebut menimbulkan kesulitan tersendiri
dalam pengembangan produksi.
Sementara
itu, konsumsi pangan di Indonesia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Adanya
perbedaaan dalam pola konsumi antar tempat. Secara umum, pola konsumsi pangan
di Indonesia digolongkan menjadi dua yaitu daerah yang masyarakatnya merupakan
konsumen beras utama atau mengarah ke beras dan daerah yang masyarakatnya di
samping mengkonsumsi beras juga mengkonsumsi bahan bukan beras sebagai bahan
pokoknya
2. Tingkat
konsumsi yang berbeda antar tempat lebih mempersulit keadaan dalam alokasi dan
distribusi pangan.
3. Konsumsi
pangan meningkat terus, khususnya beras.
4. Jumlah
penduduk yang cukup besar dan meningkat terus membawa konsekuensi untuk terus
meningkatkan penyeediaan kebutuhan pangan.
5. Tidak
meratanya penyebaran penduduk antar daerah membawa dampak terhadap masalah
distribusi pangan .
2.1.1
Kebijakan
Peningkatan
Produksi
Untuk
Mencapai
Swasembada
Pangan
Peningkatan
produksi pangan akan mempunyai dampak yang sangat luas terhadap laju
pertumbuhan di Indonesia. Selain untuk mancapai swasembada, pembangunan, pertanian,
tanaman pangan juga dibutuhkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat tani.
Semua ini dapat dicapai melalui peingkatan produksi.
Usaha
intensifikasi dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas sumber daya alam
dari area hutan, pengairan, dan pertanian, baik tanah sawah, sawah pasang
surut, tanah kering, dan sebagainya dengan menggunakan segala sarana produksi,
seperti air, benih unggul, pestisida, dan sebagainya.
Kebijakan
peningkatan produksi pangan ditempuh melalui penerapan inovasi panca usaha
tani, seperti penggunaan benih varietas unggul, pemupukan, pengendalian hama
terpadu, pengairan, peralatan untuk pengolahan lahan, tersedianya kredit tani
dan sebagainya. Inovasi ini kemudian menjadi “Sapta Usaha Tani”. Kebijakan ini
memerlukan dukungan dalam upaya mengatasi gejala leveling off (tren penurunan
produksi setelah melewati puncak peningkatan produksi) yang selalu terasa pada
periode-periode tertentu.
Untuk
menunjang keberhasilan program keberhasilan program peningkatan produksi pangan
guna mencapai swasembada tersebut, pemerintah telah mengantisipasinya melalui
serangkaian kebijakan-kebijakan:
1. Kebijakan
bidang pembenihan
2. Sarana
produksi, pupuk, dan pestisida
3. Kebijakan
bidang perkreditan
4. Kebijakan
bidang perairan
5. Kebijakan
diseversifikasi usaha tani
6. Kebijakan
bidang penyuluhan
7. Kebijakan
harga input dan output
8. Kebijakan
penanganan pasca panen
2.1.2
Diversifikasi
Komoditi
Diversifikasi
di sektor pertanian sebenarnya sudah merupakan kebijakan yang cukup lama,
tetapi pengembangannhya masih relatif tertinggal karena beberapa hal:
1. Titik
perhatian penentu kebijakan sejauh ini masih terpusat pda usaha untuk mencapai
swasembada beras. Meskipun sudah tercapai pada tahun 1984, sumber daya yang ada
masih juga terserap untuk mempertahankan swasembada tersebut.
2. Pengembangan
teknologi budi daya komoditi di luar padi masih juga tertinggal.
3. Kebijakan
di bidang pemasaran masih condong pada pencapaian target komoditi padi.
Di
bidang produksi, pengertian diversifikasi menyangkut 2 hal, antara lain:
1. Diversifikasi
horizontal, yaitu diversifikasi yang berkaitan dengan produksi, yang dalam hal ini
harus ditumbuhkan kesediaan petani produsen untuk menanam berbagai tanaman di
lahan yang dikuasainya dengan tetap memperhatikan prinsip keuntungan komparatif
terhadap penggunaan sumber daya alam dan sosial ekonomi setempat.
2. Diversifikasi
vertikal, yaitu yang berhubungan dengan sisi permintaan, yang lebih menekankan
pada masalah penanganan lepas panen sejak dari tahap proses perdagangan sampai
pada tahap konsumsinya.
Dalam
pengembangan diversifikasi ini, salah satu prasyaratyang sangat penting adalah
adanya informasi yang akurat tentang sifat-sifat lahan, aspirasi dan kemampuan
petani, serta tersedianya sarana pendukung, seperti jalan, pasar,perkreditan,
maupun peranan wilayah dalam perencanaan nasional.
Kebutuhan
akan diversifikasi di sektor pertanian sebenarnya merupakan suatu proses
alamiah karena adanya peningkatan lebih lanjut dari kemakmuran masyarakat yang
mendorong ke arah adanya perbaikan gizi yang bersumber pada perlunya
diversifikasi konsumsi.
2.2
KEBIJAKAN
SUBSIDI (SUBSIDY POLICY)
Subsidi
diartikan sebagai pembayaran sebagian harga oleh pemerintah sehingga harga
dalam negeri lebih rendah daripada biaya rata-rata pembuatan suatu komoditi
atau harga internasionalnya. Ada 2 macam subsidi, yaitu subsidi harga produksi
dan subsidi harga faktor produksi.
Subsidi
harga produksi melindungi konsumen dalam negeri, artinya konsumen dala negeri
dapat membeli barang yang harganya lebih rendah daripada biaya rata-rata
pembuatannya atau harga internasionalnya. Subsidi harga faktor produksi
bertujuan untuk melindungi produsen dalam negeri dan dilakukan untuk
meningkatkan produksi dalam negeri. Bentuk subsidi harga faktor produksi dapat
berupa biaya angkut faktor produksi ke pelosok atau perbedaan tingkat bunga
bank dalam pengambilan kredit. Disamping itu bertujuan untuk melindungi
produsen dan konsumen, kebijakan subsidi juga bertujuan untuk memperluas lapangan
kerja dan meningkatkan produksi komoditas tertentu untuk mengurangi
ketergantungan pada impor.
2.2.1
Subsidi
Harga Produksi
Subsidi
ini bertujuan melindungi konsumen dalam negeri, artinya konsumen dalam negeri
dapat membeli barang yang harganya lebih rendah daripada biaya rata-rata
pembuatan suatu komoditas atau harga internasionalnya. Untuk meningkatkan
produksi hasil-hasil pertanian, khususnya beras, pemerintah memberikan subsidi
harga faktor produksi, seperti pupuk, pestisida, dan bibit. Subsidi untuk usaha
tani padi yang ditanggung oleh pemerintah untuk mengimpor atau memproduksi
pupuk dalam negeri.
2.2.2
Subsidi
Harga Faktor Produksi
Untuk
membeli pupuk yang harganya masih relatif mahal, seringkali petani tidak
memiliki uang tunai. Untuk itu, petani dapat memperoleh kredit dengan bunga
yang relatif rendah. Selisih antara bunga bank sesungguhnya dengan bunga yang
harus ditanggung petani, dibayarkan oleh pemerinth dalam bentuk subsidi kepada
petani. Selain melindungi produsen dan konsumen, subsidi juga bertujuan untuk
memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan produksi komoditas tertentu untuk
mengurangi ketergantungan terhadap impor.
Subsidi
pupuk di Indonesia dimulai tahun 1971, yaitu untuk melengkapi introduksi
varietas padi unggul baru. Varietas padi unggul baru tersebut sangat responsive
terhadap pupuk. Pengalaman suksesnya subsidi pupuk yang mendorong penggunaan
pupuk dan pada giliran selanjutnya berpengaruh terhadap peningkatan produksi
merupakan bukti bahwa sesungguhnya petani sangat respon terhadap harga input
produksi, tetapi kesuksesan ini juga mempertahankan swasembada, penarikan
kembali subsidi faktor produksi ( misalnya, pupuk) harus diikuti dengan
peningkatan rasio harga output dan harga input.
2.3
KEBIJAKAN
INVESTASI (INVESTMENT POLICY)
Kebijakan
investasi di Indonesia dikeluarkan oleh badan koordinasi penanaman modal (BKPM)
dengan dukungan dari departemen-departemen teknis terkait. BKPM menetapkan
skala prioritas untuk usaha tertentu, misalnya pembukaan usaha besar diharapkan
menghindari persaingan dengan usaha petani.
Berbagai
kebijakan investasi dikeluarkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk merangsang
investasi baik oleh swasta nasional maupun swasta asing, namun sampai saat ini
investasi dalam sektor pertanian masih relatif kecil. Hal ini disebabkan faktor
keuntungan yang dapat diperoleh umumnya lebih kecil dibandingkan investasi
disektor industri dan jasa serta berisiko lebih besar dibandingkan dengan
sektor industri dan jasa.
2.4
KEBIJAKAN
HARGA ( PRICE POLICY )
Harga
merupakan cerminan dari interaksi antara penawaran dan permintaan yang
bersumber dari sektor rumah tangga (sebagai sektor konsumsi) dan sektor industri
(sebagai sektor produksi).
Penetapan
harga dasar oleh pemerintah menimbulkan konsekuensi lanjut terhadap pemerintah
sehingga pemerintah harus ikut campur tangan dalam rantai pemasaran karena adanya imperfeksi pasaryang merugikan
produsen dan atau konsumen.
Kebijakan
harga produk pertanian bertujuan untuk mencapai salah satu atau kombinasi dari
tujuan-tujuan berikut :
1.
Kontribusi terhadap anggaran pemerintah.
2.
Pertumbuhan devisa negara.
3.
Mengurangi ketidakstabilan harga.
4.
Memperbaiki distribusi pemasaran dan
alokasi sumber daya.
5.
Memberikan arah produksi, serta
meningkatkan taraf swasenbada pangan dan serat-seratan.
6.
Meningkatkan pendapatan dan taraf
kesejahteraan penduduk.
Keadaan
produsen dikatakan lebih baik apabila surplus produsen lebih tinggi dan
sebaliknya keadaan konsumen dikatakan lebih baik bila surplus konsumen
mengalami kenaikan.
2.4.1
MEKANISME
KEBIJAKAN HARGA DASAR ( FLOOR PRICE )
Pada
musim panen, pemerintah perlu menetapkan harga dasar beras dengan tujuan untuk
melindungi produsen beras. Harga dasar ini akan berpengaruh efektif apabila
ditetapkan diatas harga ekuilibrium (harga pasar yang berlaku). Harga dasar
yang efektif mengakibatkan kelebihan penawaran sehingga terdapat surplus beras
yang tidak terjual.
Pada
keadaan normal, jumlah beras yang ditawarkan (gambar 12.2) merupakan kurva
penawaran So dan keseimbangan tercapai di Titik a, yang dalam hal
ini jumlah keseimbangan yang tercapai sebesar Qo dan harga
keseimbangan Po. Apabila jumlah penawaran beras bertambah maka kurva
penawaran bergeser dari So ke S1 dan keseimbangan baru
tercapai dititik c. pada titik keseimbangan c ini, jumlah keseimbangan sebesar
Q1 dan harga keseimbangan P1.
P Do
So
Po A Sf
P1 B
D S1
P2
C
Q
Qo
Qf Q1 Q2
Gambar 12.2 Pengaruh
Penetapan harga dasar
Apabila
harga P1 ini dianggap merugikan petani produsen maka pemerintah
dapat menentukan harga dasar sebesar Pf. Dengan ditetapkannya harga dasar sebesar
Pf, jumlah yang ditawarkan sebesar Q2 dan jumlah yang
diminta sebesar Qf sehingga
terjadi kelebihan penawaran sebesar Q2-Qf. Agar harga di
pasar mencapai sebesar Pf maka pemerintah harus membeli kelebihan
penawaran ini.
2.4.2
MEKANISME
KEBIJAKAN HARGA TERTINGGI ( CEILING PRICE
)
Berbeda
dengan penetapan harga dasar yang bertujuan untuk melindungi produsen ,
penetapan harga maksimum adalah untuk melindungi konsumen. Artinya, membeli
beras pada waktu terjadi kelebihan penawaran dan mengeluarkan stok beras pada
waktu terjadi kelebihan permintaan. Ini berarti bahwa Bulog membeli beras pada
saat harga rendah (pada musim panen raya) dan menjualnya kembali pada saat
harga tinggi (pada musim paceklik).
2.4.3
HARGA
PERANGSANG ( PRICE SUPPORT )
Apabila
tidak ada stok nasional dan terjadi kelebihan permintaan (excess demand) di pasar
domestic maka pemerintah dapat memenuhi kebutuhan beras dengan 2 cara, yaitu
mengimpor atau miningkatkan produksi dalam negeri. Apabila pemerintah
mengurangi ketergantungan dari luar negeri dan memilih usaha peningkatan
produksi dalam negeri maka salah satu caranya adalah dengan menerapkan harga perangsang (price support).
2.5
KEBIJAKAN
PEMASARAN ( MARKET POLICY )
Kegiatan
pemerintah untuk mengatur distribusi barang (terutgama beras) antar daerah dan
atau antar waktu sehingga diantara harga yang dibayarkan konsumen akhir dan
harga yang diterima oleh produsen terdapan marjin pemasaran dalam jumlah
tertentu sehingga dapat merangsang proses produksi dan proses pemasaran.
Pemasaran
yang tidak efisien menyebabkan bagian petani (farmer’s share) menjadi kecil, yang pada gilirannya tidak akan
merangsang peninggkatan produksi lebih lanjut. Efisiensi pemasaran biasanya
diukur dari besar-kecilnya margin pemasaran, setelah mempertimbangkan berbagai
fungsi yang dijalankan dalam kegiatan pemasaran tersebut.
2.5.1
MARGIN
PEMASARAN
Perbedaan
harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir dengan harga yang diterima produsen
disebut dengan margin pemasaran, yang dirumuskan sebagai berikut :
M = Pr-Pf
Dimana
:
M : Margin Pemasaran
Pr : Harga ditingkat pengecer (retail
price).
Pf : Harga ditingkat petani (farn gate
price).
Selain
menerima keuntungan, lembaga pemasaran juga telah mengeluarkan sejumlah biaya
untuk menjalankan fungsi-fungsi pemasaran. Fungsi- fungsi pemasaran yang
dijalankan oleh lembaga pemasaran dapat
berupa penyimpanan (storage),
penggolongan mutu (gradding),
standarisasi (standardization), transportasi
(transportation), dan pengolahan (processing). Dengan demikian, margin
pemasaran sama dengan keuntungan ditambah biaya untuk menjalankan fungsi-fungsi
pemasaran atau secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :
M = II + CM
Dimana
:
M :
Marjin pemasaran.
II :
Keuntungan lembaga pemasaran.
CM : Biaya yang dikeluarkan oleh lembaga
pemasaran untuk menjalankan fungsi
pemasaran.
Selisih
antara harga ditingkat pengecer dn harga ditingkat petani disebut margin
pemasaran yang besarnya sama dengan hasil kali antara selisih harga tersebut
dengan jumlah yang dipasarkan.
2.5.2
KESEIMBANGAN
ANTARTEMPAT
Untuk
meningkatkan guna antartempat dibutuhkan biaya transfer, sedangkan untuk
meningkatkan guna antarwaktu dibutuhkan biaya penyimpanan. Keseimbangan
antartempat dibedakan menjadi 2, yaitu keseimbangan antar tempat tanpa biaya
transfer dan keseimbangan antartempat dengan biaya transfer. Biaya transfer
adalah biaya yang dibutuhkan untuk memindahkan barang antar dua tempat.
Untuk
melancarkan pemasaran hasil-hasil pertanian, pemerintah menentukan berbagai
kebijakan, antara lain menetapkan rantai pemasaran yang sependek mungkin,
membentuk kantor pemasaran bersama atau menetapkan pola, serta menunjuk
distributor dan pengecer tertentu untuk komoditi yang tertentu pula.
2.6
KEBIJAKAN
KONSUMSI ( CONSUMPTION POLICY )
Undang-undang
RI No. 7 THN 1996 tentang pangan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pangan
adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan dan bahan lain yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan, serta pembuatan makan atau minuman.
Perubahan
orientasi pembangunan di bidang pangan
meliputi 5 aspek, antara lain :
1.
Dari orientasi swasembada beras menjadi
swasembada pangann.
2.
Orientasi pemenuhan kuantitas menjadi
orientasi yang menekankan kepada kualitas pangan.
3.
Orientasi yang berupaya untuk mengatasi
situasi yang berlebih melalui mekanisme pasar.
4.
Orientasi yang menekankan pada upaya
mencukupi kebutuhan pangan melalui peningkatan produksi, menjadi orientasi
untuk menghasilkan atau memproduksi
pangan yang sesuai dengan permintaan
pasar.
5.
Orientasi yang menitikberatkan kepada
komoditas tunggal menjadi orientasi kapada pangan yang beranekaragam.
Keterkaitan
antara pendapatan dan permintaan akan pangan disebutkan dalam teori haga bahwa
semakin tinggi harga suatu barang cenderung akan mengurangi permintaan akan
barang tersebut dan sebaliknya.
Pada
dasarnya, keragaman atau diversifikasi pangan mencakup 3 lingkup pengertian
yang satu sama lain saling berkaitan, yaitu divesifikasi konsumsi pangan,
diversifikasi ketersediaan pangan, dan diversifikasi produksi pangan.
Pengetahuan tentang permintaan terhadap keanekaragaman yang direfleksikan oleh
perkembangan keanekaragaman konsumsi pangan merupakan hal yang penting
berdasarkan beberapa alas an, antara lain :
1. Dalam
lingkup kepentingan nasional, pengurangan konsumsi beras akan memberikan dampak
positif terhadap kelestarian swasembada atau ketahanan dan keamanan pangan.
2. Diversifikasi
konsumsi akan mengubah alokasi sumber daya kea rah yang lebih efesien,
fleksibel, dan stabil.
3. Keanekaragaman
pangan juga penting dilihat dari segi nutrisi.
4. Pengetahuan
tentang ketahanan pangan juga akan berguna dalam perumusan strategi pengembangan
sistem pangan yang menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan
pengaturan, pembinaan, serta pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi
pangan dan peredaran pangan sampai
dengan siap dikonsumsi oleh manusia.
Pemerintah
juga meluncurkan Gerakan Nasional Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi dalam
rangka mencapai cukup pangan dan bebas gizi buruk. Kebijakan ini diharapkan
dapat mengatasi masalah gizi buruk yang dialami oleh 1,7 juta anak balita
dengan melibatkan sektor lain, diantaranya sektor kesehatan dan pengembangan
wilayah.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kebijakan pertanian kita adalah memajukan
pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan
efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan kesejahteraan
petani meningkat.
Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah
baik di pusat maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada
yang berbentuk Undang-undang, Peraturan-peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen,
keputusan Gubernur dan lain-lain. Peraturan ini dapat dibagi menjadi dua
kebijakan-kebijakan yang bersifat pengatur (regulating
policies) dan pembagian pendapatan yang lebih adil merata (distributive policies). Kebijakan yang
bersifat pengaturan misalnya peraturan rayoneering
dalam perdagangan/distribusi pupuk.
Politik
pertanian merupakan sikap dan tindakan pemerintah atau kebijaksanaan pemerintah
dalam kehidupan pertanian. Kebijaksanaan pertanian adalah serangkaian tindakan
yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan
tertentu , seperti memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi
lebih produktif, produksi dan efesien produksi naik, tingkat hidup petani lebih
tinggi, dan kesejahteraan menjadi merata.
Politik
pertanian dalah campur tangan pemerintah di sektor pertanian dengan tujuan
untuk meningkatkan efesiensi yang menyangkut alokasi sumber daya untuk dapat
menghasilkan output nasional yang maksimal dan memeratakan pendapatan, yaitu mengalokasikan keuntungan pertanian
antargolongan dan antardaerah, keamanan persediaan jangka panjang.
3.2
SARAN
Diharapkan
semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan bisa lebih dimengerti dan
memahami lebih dalam tentang kebijakan pertanian seperti yang telah di jelaskan
dalam makalah ini.
Sumber: Hanafie, Rita. (2010). Pengantar Ekonomi Pertanian. ANDI. Yogyakarta.
Sumber: Hanafie, Rita. (2010). Pengantar Ekonomi Pertanian. ANDI. Yogyakarta.