BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang
mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah
atau sistem ekonomi koperasi berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun
negara kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari kapitalisme karena
Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan
melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam kaca mata Islam
merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi ibadah
yang teraplikasi dalam etika dan moral.
Inti pokok diciptakannya manusia dimuka bumi ini adalah untuk senantiasa menyembah kepada-Nya. Sementara pada sisi yang lain Allah SWT juga memerintahkan manusia sebagai khalifah yang tugas utamanya adalah memakmurkan bumi Allah. Sekilas kedua makna ayat tersebut diatas memang nampak ada kontradiksi. Akan tetapi setelah di kaji lebih dalam ternyata ayat tersebut masih tetap dalam satu jalur yang sama. Yaitu makna penyembah tidak hanya dalam bentuk ritual ibadah kepada Allah semata, akan tetapi setiap derap langkah manusia apabila di dasari oleh tauhid merupakan implementasi dari pada penyembahan kepada Allah, berupa tetap konsisten dalam ketaatan aturan-aturan syari’ah.
Manusia di hadapan Allah disamping seorang hamba juga adalah
sebagai khalifah dimuka bumi. Maka sebagai khalifah manusia mempunyai
tugas utama yaitu untuk memakmurkannya. Dan implementasinya adalah
melakukan kegiatan ekonomi yang merupakan salah satu pilar penting dalam
kehidupan.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang dapat
diambil adalah bagaimana norma dan prinsip-prinsip ekonomi Islam?
C.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan Penulisan:
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana
norma dan prinsip-prinsip ekonomi Islam.
Manfaat Penulisan:
- Manfaat akademis, dapat menjadi sumbangan teoritis dan pemikiran untuk pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang ekonomi islam.
- Manfaat praktis, dapat menjadi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pandang Yahudi dan Nasrani terhadap ekonomi
Pada dasarnya semua agama Samawi adalah mengajarkan agama
yang lurus “hanif” kepada seluruh umatnya. Akan tetapi seiring dengan
waktu agama yang lurus tersebut telah banyak mengalami distorsi dan pembiasan
sehingga timbul bayak kerusakan baik dalam tatanan politik, ekonomi, sosial
maupun budaya.
Seperti telah tersurat dalam Al-Qur’an bahwa orang-orang
Yahudi memiliki sifat-sifat yang sangat tercela sebayak 22 sifat[1], diantaranya adalah mengubah dan
memutarbalikkan kebenaran[2], mencintai kemewahan dan kehidupan
dunia, bersifat tamak dan rakus, menginginkan umur yang panjang dan mengejar
kesenangan serta takut akan kematian[3]. jadi jika dilihat dari beberapa sifat
tersebut diatas sangatlah wajar jika terjadi bayak kerusakan karena fakta telah
diputarbalikkan, kebenaran disembunyikan sehingga yang ada hanyalah
kekacauan dan kerusakan.
Melihat kondisi seperti itu maka Allah SWT mengutus seorang
rasul yaitu Isa AS atau Yesus ke kalangan yahudi untuk mengakhiri materialism
mereka yang berlebih-lebihan[4]. Yesus berkata bahwa “ manusia tidak
hanya hidup dengan sepotong roti saja”, ini merupakan salah satu ajaran utama
Matius dan Lukas. Pernyataan ini merupakan sebuah sindiran bagi mereka
yang begitu mengagung-agungkankan materi. Dan menegaskan pula bahwa selain
keperluan untuk memenuhi kebutuhan materi juga harus memperhatikan aspek
rohani/spiritualnya sehingga akan terjadi keseimbangan antara materi dan
rohani.
Akan tetapi lagi-lagi pembiasan agama terulang, jika Orang
Yahudi secara ekstrim begitu mengagung-agungkan materi berbeda dengan
orang-orang Kristen yang membenci atau bahkan menolak materi. Model pemikiran
seperti ini di pengaruhi oleh orang-orang Hellenik yang menyatakan pengingkaran
kepada materi. Dalam Gnostisme menegaskan bahwa “spiritualis adalah berbeda
jauh dari alam atau materi”. Jadi pengingkaran terhadap dunia material sangat
dipengaruhi oleh sikap-sikap Gnostik. Dalam sejarah Kristen pernyataan Yesus
telah menjadi landasan bagi ideology anti-materialis. Ia tumbuh menjadi
pengingkaran total terhadap materi , dunia dan kemudian berkembang menjadi
suatu etika isolasianis, sinisme politik, etika kependetaan. Kemudian mengubah
diri dari ajaran Yesus menjadi ajaran Kristiani. [5]
Pandangan ini hampir sama dengan pandangan agama hindu
India. Dalam pandangan ini pengolahan dunia materi, melahirkan keturunan,
mobilisasi untuk pangan, mengubah dunia menjadi sebuah taman dan sejarah akan
memperpanjang kebandaan. Jadi dalam pandangan ini adalah agama hanya menjunjung
tinggi moralitas dan individualistic. Maka berangkat dari fenomena ini Islam
datang untuk meluruskan kesalahpahaman dan mengembalikan keseimbangan antara
material dan spiritual.
Abad modern dimulai dari pada masa translation age
pada tahun 1050-1150. dengan spirit keilmuan scientific. Pada masa ini pula
rasionalisasi dan sekulerisasi atau desakralisasi agama terjadi[6]. Seperti dikatakan James e.
Crimmins “proses desakralisasi memang sengaja diarahkan untuk melawan
agama dan di gambarkan sebagai agen utama untuk menggeser dan menggusur agama
tradisional. Jadi kebangkita barat memang di awali dari scientific dan liberalisasi
agama.
B. System ekonomi Kapitalis dan Sosialis
Kapitalis adalah system ekonomi yang mengedepankan egoism,
bebas menumpuk harta kekayaan, mengembangkannya dan membelanjakannya. Pemikiran
yang berorientasi pada individualism sama sekali tidak memerhatikan kepentingan
orang lain kecuali kalau ada manfaat yang dapat dipetiknya. Jadi sikap ini
tidak pernah memikirkan apa dan siapa kecuali laba dalam jumlah besar[7].
Berbeda dengan kapitalis. Jiwa peraturan sosialis bertolak
belakang dengan kapitalisme. Sosialis berjiwa merampas hak individu satu visi
“sama rasa sama rata”. Meskipun tujuan utama sosialisme adalah untuk
memberikan tingkat kesejahteraan yang merata bnagi masyarakat namun dalam
kenyataannya keadaan ekoniminya tidak lebih baik jika di bandingkan dengan
kapitalisme, karena saat ini tidak ada negara sosialis yang relatif maju dalam
perekonomiannya.
C. Norma dan Prinsip-prinsip Ekonomi Islam
Ekonomi Islam adalah suatu system ekonomi yang tujuan
utamanya adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan secara merata. Adapun
yang dimaksud kesejahteraan (al-falah) adalah sebuah kondisi
dimana al-daruruyyat al-khams (lima kebutuhan primer) dapat
terpelihara dan terjamin dan terpelihra keberadaannya dalam kehidupan manusia
itu sendiri. Lima kebutuhan primer tersebut adalah terdiri dari pemeliharaan
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta[8].
Maka untuk merealisasikan tujuan ini perlu dibutuhkan suatu
system yang akan mendukung terciptanya tujuan tersebut yaitu berupa nilai dan
prinsip-prinsip syariah. System nilai pada hakekatnya sesuatu yang akan
memberikan makna dalam kehidupan manusia dalam setiap peran yang dilakukan.[9] Dalam system ekonomi Islam terdapat
system yang saling terkait antara satu dengan lainnya, yaitu mencakup pandangan
dunia (al-kholqiyah) dan moral (al-khuliqiyah) yang mempengaruhi,
membimbing dan membantu manusia merealisasikan sasaran-sasaran kemanusiaan (insaniyah)
yang berketuhanan (rabbaniyah) guna mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.
Maka untuk merealisasikan tujuan ini terdapat empat landasan filosofis dalam
ekonomi Islam yaitu: tauhid, keadilan, khalifah, kebebasan dan tanggungjawab.
a. Tauhid
Untuk mencapai kesejahteraan satu-satunya landasan paling
fundamental adalah tauhid, karena dengan landasan tauhid ini dapat di bedakan
antara ekonomi Islam dengan Ekonomi konvensional. Tauhid membersihkan agama
secara mutlak dari semua keraguan menyangkut transendensi dan keesaan tuhan.
Hanya Allah lah yang patut di agungkan dan di sucikan, dijadikan tempat mengadu
dan meratap [10] Dengan tauhid itu manusia bisa
mencapai dua tujuan sekaligus, yaitu mengukuhkan tuhan sebagai
satu-satunya pencipta alam semesta dan mensederajatkan semua manusia
sebagai mahluk tuhan.[11] Dan yang membedakan derajat seseorang
dihadapan Allah SWT adalah ketaqwaannya.
Begitu juga dalam pandangan dunia holistic tauhid bukanlah
hanya sekedar ajaran tentang kepercayaan kepada tuhan yang maha esa, akan
tetapi jauh lebih mencakup pengaturan tentang sikap manusia terhadap tuhan dan
terhadap sumber-sumber daya manusia maupun alam semesta.aspek terpenting dari
tauhid disini adalah berfungsi untuk membangun kualitas-kualitas individu,
sekaligus juga membina masyarakat, yang keanggotaannya terdiri dari
individu-individu[12]. Juga tauhid mengandung arti bahwa
alam semesta ini diciptakan dan di desain oleh tuhan yang maha esa secara
sadar, yang bersifat esa dan unik, dan tidak terjadi dari factor kebetulan atu
aksidentil.[13]
Karena Allah menciptakan segala sesuatunya dengan suatu
tujuan yang jelas, maka ini akan memberikan arti yang cukup signifikan bagi
jagad raya, dimana manusia sebagai actor utamanya. Maka setelah penciptaan ini,
tuhan tidak pensiun . ia aktif terlibat dalam segala urusannya dan selalu
waspada dan melihat kejadian yang paling kecil sekalipun.[14]
b. Khalifah
Manusia diciptakan selain untuk menyembah kepada-Nya tetapi
juga ditugaskan sebagai wakil-Nya dimuka bumi[15]. Ia telah dibekali dengan semua
karakteristik mental dan spiritual serta materil untuk memungkinkannya hidup
dan mengemban misinya secara efektif.[16]
Manusia sebagai khalifah atau dalam pengertian
pengelolaan disebut khilafah. Yaitu fungsi utamanya menyediakan basis
bagi system perekonomian dimana kerjasama atau gotong royong mengganti
kompetisi yang selama ini menjadi ciri dominan proses interaksi ekonomi
konvensional.
Dalam pengolahan dan pengelolaan disini terkandung makna
sinergi yang memberi tekanan pada kerjasama dan tolong menolong[17] dalam arti bahwa mereka yang bekerja
meraih kemakmuran dibumi harus dilakukan tanpa melakukan pengorbanan terhadap
orang lain (al-fasad) sementara kalau memperoleh kelebihan harus
digunakan untuk member manfaat dan pertolongan kepada sesama.
c. Keadilan dan keseimbangan
Konsep tauhid dan khilafah akan tetap menjadi konsep yang
kosong dan tidak memiliki substansi jika tidak dibarengi dengan keadilan
sosio-ekonomi. Seperti dikatakan oleh Ibnu Taimiyah bahwa” Allah menyukai
negeri adil meskipun kafir, tetapi tidak menyukai Negara tidak adil meskipun
beriman, dan dunia akan dapat bertahan dengan keadilan meskipun tidak beriman,
tetapi tidak akan bertahan dengan ketidakadilan meskipun Islam”. Keadilan telah
dipandang oleh para fuqaha’ sebagai isi pokok maqashid asy-syari’ah.
Islam sangat menentang keras berbagai bentuk ketidakadilan, ketidak
merataan,eksploitasi, penindasan dan kekeliruan, sehingga seseorang menjauhkan
hak orang lain atau tidak memenuhi kewajibannya terhadap mereka[18].
d. Kebebasan (al-khuriyyah)
Tidak ada kalimat yang merdu di dengar, yang indah
dirasakan, dan selalu menjadi dambaan insan setelah aqidah dan keimanan
menancap di kalbu kecuali senandung kalimat kebebasan. Akan tetapi kebebasan
disini bukan berarti bebas mutlak tanpa batas, tetapi kebebasan yang terikat
dengan hak-hak orang lain, dengan kepentingan umum bagi masyarakat, dan
terpenting lagi adalah keterikatan dengan koridor syari’ah, juga system
undang-undang sipil dalam suatu Negara[19].
Disini manusia mempunyai suatu kebebasan untuk berbuat suatu
keputusan ekonomis yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Karena
dengan kebebasan itu manusia dapat mengoptimalkan potensinya dengan
melakukan inovasi-inovasi dalam kegiatan ekonomi. Maka konsekuensi dari
kebebasan ini adalah sebuah keniscayaan untuk seluas-luasnya terus
mengembangkan kreatifitasnya, melakukan inovasi-inovasi ekonomi sesuai dengan
kebutuhan manusia juga kebutuhan pasar yang secara dinamis mengalami
perubahan-perubahan.[20]
e.
Tanggung jawab (al-mas’uliyyah)
Tanggung jawab adalah merupakan konsekuensi logis daripada
sebuah kebebasan. Dalam pandangan Islam tanggung jawab manusia hanya tidak
sebatas tanggung jawab individu dan sosial, tetapi yang lebih penting lagi
adalah tanggungjwab dihadapan Allah SWT. Maka dari itu makna kebebasan
adalah suatu amanah dari Allah yang harus di implementasikan manusia dalam
aktifitas kehidupannya.
Pertanggungjawaban manusia perlu difahami dalam dua aspek,
yaitu aspek transcendental (transcendental accountability) yaitu suatu
keyakinan akan adanya hari pembalasan, perhitungan sebagai self control.
Sehingga bagi orang yang sadar akan eksistensi hari pembalasan akan mampu
mengartikulasikan kehidupan dengan sikap dan perilaku yang baik.[21]karena pada hari perhitungan nanti
manusia akan disuruh membaca sendiri catatan amalannya, untuk menjustifikasi
eksistensinya di muka bumi.[22]
Dari kelima landasan filosofis tersebut yang merupakan
landasan pokok dalam kegiatan ekonomi masih merupakan teori-teori ekonomi.
Maka perlu kiranya dijelas lebih lanjut bagai mana ekonomi islam menjelaskan
yang tidak hanya dalam tataran filosofis-akademis tetapi juga bagaimana
praktiknya dalam tataran praktis dan empiris. Yaitu tiga pembahasan pokok
ekonomi berupa produksi, konsumsi, dan distribusi.
D. Produksi dan Konsumsi
a) produksi
Para ahli ekonomi mendefinisikan produksi sebagai
“menghasilkan kekayaan melalui eksploitasi manusia terhadap sumber-sumber
kekayaan lingkungan” Atau bila kita artikan secarakonvensional, produksi adalah
proses menghasilkan atau menambah nilai guna suatu barang atau jasa dengan
menggunakan sumber daya yang ada. Produksi tidak berarti menciptakan secara
fisik sesuatu yang tidak ada, karena tidak ada seorang pun yang dapat
menciptakan benda[23].
Produksi merupakan suatu kegiatan yang dikerjakan untuk
menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih
bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan. Kegiatan menambah daya guna suatu benda
tanpa mengubah bentuknya dinamakan produksi jasa.
Sedangkan kegiatan menambah daya guna suatu benda dengan mengubah sifat dan
bentuknya dinamakan produksi barang. Produksi bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan manusia untuk mencapai kemakmuran.[24]. Kemakmuran dapat tercapai jika
tersedia barang dan jasa dalam jumlah yang mencukupi. Atau Produksi adalah
usaha untuk menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Di dalam
produksi terdapat empat factor yaitu: tenaga kerja, tanah, modal dan keahlian
keusahawanan[25]. Dari keempat factor tersebut tenaga
kerja atau manusia adalah factor terpenting dalam menjalankan roda perekonomian.
Karena itu Islam sangat mendukung maksimalisasi produksi. Ia
mengharapkan setiap orang memproduksi lebih banyak dari apa yang dikonsumsinya,
dan memberikan lebih banyak jasa dari yang diterimanya.[26]Dijadikannya kerja, produksi pangan,
pembangunan desa-desa dan kota-kota, pemberian jasa, pengembangan budaya dan
peradaban, menjalankan kegiatan pendidikan merupakan tugas utama manusia
sebagai khalifah. Jadi disini jelas sekali bahwa manusia harus berproduksi.
Bahkan rasullulah sangat mencintai sahabat yang ketika hijarah ke Madinah
menolak menerima bantuan dari kaum Anshor. Tetapi justru lebih suka pergi
kepadang terbuka untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian mengendongnya/
memanggulnya untuk di jual kepasar. Kemudian dengan modal sedikit demi sedikit
mereka merintis dagang dengan modalnya sendiri.
Dalam berproduksi yang menjadi syarat utamanya adalah
produksi dalam lingkaran halal. Seorang muslim tidak boleh menanam segala jenis
tumbuhan yang membahayakan manusia, seperti tembakau yang menurut keterangan
WHO, sains, dan hasil riset, berbahaya bagi manusia..[27] Demikia juga menanam anggur jika di
niatkan untuk membuat wine (minuman keras) hukumnya haram karena hal itu
turut serta dalam tersebarnya kejahatan dan kriminalitas. Kemudian juga produk
yang merusak akidah, etika dan moral manusia seperti produk pornografi dan
sadism, baik berupa opera, film atau berbagai media lainnya. Juga disyaratkan
dalam prokuksi adalah tidak adanya unsure penipuan dan pemalsuan.[28] Jadi produk apa saja yang
Dalam Islam terdapat empat prinsip dalam berproduksi. Pertama,
tidak memproduksi barang-barang yang tujuan utamanya hanya untuk mencapai
keuntungan semata-mata. Tetapi produksi harus ditujukan untuk menghasilkan
barang-barang yang bermanfaat dan berguna bagi masyarakat. Keuntungan
materi haruslah ditempatkan sebagai tujuan sampingan, bukan tujuan utama. Kedua,
tidak memproduksi barang-barang yang membahayakan. Ketiga, barang yang
diproduksi harus tampil apa adanya, tidak ada permax dan manipulasi dan yang ke
empat adalah siap mendapatkan sanksi jika melakukan pelanggaran etika produksi.[29]
Dalam hal ini Islam sangat menekankan umatnya untuk
memproduksi dan berperan dalam berbagai bentuk aktivitas ekonomi : pertanian,
perkebunan, perindustrian dan juga perdagangan. Dalam hal ini Isam memberikan
kebebasn kepada setiap manusia untuk membuat aturan main sesuai dengan tingkat
kreatifitasnya, keilmuan, situasi dan kondisi, karena hal ini termasuk urusan
dunia yang senantiasa dinamis. Inilah yang dimaksudkan nabi dengan ucapannya”
kamu lebih tahu dengan urusan duniamu”. Oleh karena itu Islam menghargai
pekerjaan dunia ini dan menjadikannya bagian dari ibadah dan jihad[30].
Di era modern seperti ini sudah waktunya memaksimalisasi
pendayagunaan sarana dan alat-alat modern, juga mengupayaan efisiensi dalam
produksi, peningkatan kwalitas mutu dengan harga yang bersing sehingga tetap
bisa terjangkau oleh konsumen. Jadi dalam tataran teknis bisa menggunakan apa
saja asalkan prioritas utamanya adalah terciptanya kemaslahatan bagi manusia,
terhindarnya manusia dari kemudharatan dan juga terciptanya efisiensi dalam
kehidupan[31].
b). Konsumsi
Konsumsi, dari bahasa
Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi
atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi
kebutuhan dan kepuasan secara langsung[32].
Kebutuhan[33] dasar (primer) manusia meliputi
sandang, pangan dan papan Konsumsi merupakan kebutuhan sehari-hari manusia
yang harus senantiasa terpenuhi. Dalam Alqur,an juga secara tegas
menyebutkan ketiga macam kebutuhan primer itu dan mengingatkan manusia pertama
(Adam) tentang keharusan pemenuhannya sebelum menginjakkan kakinya dimuka bumi[34]. Dijelaskan dalam al-Qur’an at-Thaha
117-119 bahwa yang dimaksud bersusah payah adalah bekerja untuk memenuhi
kebutuhannya, yang dilukiskan “tidak lapar dan tidak dahaga” seperti disurga.
Sedangakan sandang dilukiskan engan “tidak telanjang” dan papan telah di
isyaratkan oleh kalimat “tidak disengat matahari panas.
Dalam pola makan ada perintah makanlah (kullu) dan
minumlah wasrobuu, tetapi juga adanya warning janganlah berlebih lebihan
wala tusrifuu. Yang menjadi batas minimumnya adalah kebutuhan
hidup pokok (efisien) dan batas maksimumnya adalah titik dimana konsumsi
menjadi tabdzir, atau pemborosan[35].
Dalam al-Qur-an secara tegas menyatakan bahwa pemborosan
adalah teman-teman setan. Sedangkan setan itu sangat ingkar kepada tuhannya[36]. Makna teman disini artinya menyerupai
setan dalam artian menyerupai dalam perbuatan buruk. Karena berlebih-lebihan
dalam hal makanan akan menimbulkan daya destruktif baik psikis maupun biologis.
Emha Ainin Nadjib mengatakan” narkotika tidak hanya terbatas pada racikan
serbuk-serbuk yang membahayakan, tetapi juga racikan-racikan budaya yang berupa
isme-isme yang menyesatkan dan juga konsumsi secara berlebihan termasuk jenis
narkotika kebudayaan”.
c) Distribusi
Distribusi adalah penyebaran pengeluaran dan pemasukan
individu.[37] Jadi seseorang yang memilii kelebihan
dalam konsumsi dan pendapatan haruslah di investasikan dalam suatu usaha yang
produktif dan membuka lapangan-lapangan kerja dan menjadikan sumber penghasilan
bagi orang lain. Investasi bisa dalam bentuk mudharabah atau musyarakan. Dan
bisa juga Juga dalam bentuk Qardhul hasan.
Dalam Islam sangat dilarang melakukan penimbunan barang yang
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang jauh lebih tinggi, juga membiarkan
uang yang ada dalam keadaan pasif. Karena hal ini akan menghambat roda
perputaran ekonomi secara makro yang akan berpengaruh pada lesunya tingkat
produksi.
Maka distribusi dalam bentuk investasi juga ada distribusi
yang sifatnya sukarela yaitu Sedehak. Sedekah dipandang sebagai nilai tinggi
dan kebajikan moral dan hal ini sangat dianjurkan dalam Islam. Karena dengan
sedekah bisa dijadikan sarana penebus kesalahan dan patut mendapat pahala yang
besar[38].
Khusus untuk harta kekayaan yang sudah melebihi nisab disini
ada keharusan distribusi yang sifatnya diwajibkan yaitu mengeluarkan zakat mal.
Zakat adalah kewajiban utama setelah sholat. Sesungguhnya sholat hampir tidak
pernah disebut tanpa di ikuti oleh zakat, baik secara langsung maupun dalam
ayat berikutnya. Dan orang yang beriman selalu dilukiskan sebagai mereka yang
percaya kepada yang ghaib, mengerjakan sholat serta membayar zakat. Arti
harfiah zakat adalah “pemanis” yang berarti bahwa harta akan menjadi “asam jika
tidak di keluarkan zakatnya. Ini berbeda dengan shadaqah yang sifatnya
adalah anjuran, akan tetapi untuk zakat wajib hukumnya untuk di keluarkan.
Karena di dalam harta orang kaya terdapat hak-hak orang miskin yang harus
disalurkan[39].
Akhirnya zakat dan sedekah bersama-sama harus membawa
masyarakat sedekat mungkin kepada cita-cita keadilan sosial demi tercapainya kesejahteraan.
Maka disinilah letak pemerataan distribusi dalam islam. Dengan adanya zakat
ketimpangan antara sikaya dan si miskin dapat di jembatani sehingga benar-benar
dapat tercipta keadilan sosial dan kesejahteraan di dunia dan di akherat dapat
terealisasikan secara kongkrit.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berbeda antara antara Yahudi dan Nasrani dalam menyikapi
masalah ekonomi. Yahudi memandang Materi secara berlebih-lebihan atau
dengan bahasa lain, terlalu mengagung-agungkan materi, sedangkan Nasrani adalah
sebaliknya yaitu bersikap fatalistic terhadap materi. Maka Islam datang
memberikan pencerahan. Bahwa materi di perlukan dalam proporsi yang wajar atau
tidak berlebih-lebihan.
Begitu juga system ekonomi kapitalis dan sosialis berbeda
dengan Islam. Dalam ekonomi kapitalis lebih cenderung pada kebebasan
individu sedangkan sosialis lebih pada pemerataan sama rata sama rasa. Kedua
system ini tidak mengenal system nilai. Berbeda dengan system ekonomi Islam
yang berpijak pada landasan filosofis berupa tauhid, keadilan, khalifah,
kebebasan dan tanggungjawab. Begitu juga dalam produksi dan konsumsi tetap
berpegang pada nilai-nilai dan etika Islam.
Dalam menjalankan roda perekonomian ditekankan saling
menolong dan bersedekah. Hal ini tentunya dapat membuat kehidupan dalam Islam
bukan dalam suasana persaingan hukum rimba, tetapi suasana persaudaraan. Pada
intinya, dalam Islam lapangan persaingan ekonomi adalah lapangan yang fair dan
manusiawi serta suasana hubungan antar manusia diliputi semangat solidaritas
dan ketakwaan. Ini semua tentu mempermudah terciptanya kesejahteraan.
B. Saran
Diharapkan
semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan bisa lebih dimengerti dan
memahami lebih dalam tentang norma dan prinsip-prinsip ekonomi islam seperti
yang telah di jelaskan dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruqi,
Isma’il Razi. 1988. Tauhid. Bandung: Penerbit Pustaka.
Chapra,
Umer. 2000. Islam dan Tantangan Ekonomi. Jakarta: Gema Insani Press.
http://id.wikipedia.org/wiki/Produksi,
konsumsi dan distribusi.
Nurrudin,
Amiur. Kesejahteraan Sejati dalam Perspektif Ekonomi Islam, “ Tsaqafah:
Jurnal Peradaban Islam”, Vol 3 No
1(ISID, Dzulqa’dah 1427).
__________.
SDM Berbasis Syari’ah, “ Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam”, Vol. 6
No.1(ISID, April 2010)
Qardhawi,
Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press.
Shihab,
Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung, Mizan.
Sukirno,
Sadono. 1994. Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Jakarta: Rajawaji
Press.
Zarkasyi,
Hamid Fahmy. 2009. liberalisasi pemikiran Islam. Gontor: CIOS.
Zuhaili,
Wahbah. 2005. Kebebasan Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
[2] Al-Baqarah:75,91,101,140,145,211 ; Ali
Imron:71,78 ; An-Nisa:46 ; Al-Maidah:41
[3] (QS al–Baqarah:90,95,96,212)
[4] Isma’il Razi Al-Faruqi, Tauhid,
(Penerbit Pustaka, bandung: 1988) hal 163.
[5] Ibid hal 163.
[6] Hamid Fahmy Zarkasyi, liberalisasi
pemikiran Islam,(CIOS, Gontor: 2009) hal 7.
[7] Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi
Islam, (Gema Insani Press, Jakarta, 1997) hal 69.
[8] Amiur Nurrudin, Kesejahteraan Sejati
dalam Perspektif Ekonomi Islam, “ Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam”, Vol 3
No 1(ISID, Dzulqa’dah 1427) hal 97.
[9] Amiur Nurrudin, SDM Berbasis
Syari’ah, “ Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam”, Vol 6 No 1(ISID, April 2010)
hal 29.
[10] Yusuf Qardhawi, hal 203.
[11] Isma’il Razi Al-Faruqi, hal 165
[12] Ibid hal 30.
[13] QS. Ali Imron 191.
[14] Umer Chapra, Islam dan Tantangan
Ekonomi, (Gema Insani Press, Jakarta, 2000) hal, 204.
[15] QS. Al-Baqarah: 30.
[16] Umer Chapra, hal 204.
[17] Qs. Al-Maidah: 5,2.
[18] Umer Chapra, hal, 211.
[19] Wahbah Zuhaili, Kebebasan Dalam Islam,
(Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2005) hal 3.
[20] Amiur Nurrudin, SDM Berbasis Syari’ah,
hal 34.
[21] Ibid hal, 35.
[22] Isma’il Razi Al-Faruqi, hal 180.
[25] Sadono Sukirno, Pengantar Teori
Mikro Ekonomi, (Rajawaji Press, Jakarta, 1994) hal 192.
[26] Isma’il Razi Al-Faruqi, hal 18o.
[27] Yusuf Qardhawi, hal 117.
[28] Ibid hal 118.
[29] Isma’il Razi Al-Faruqi, hal 184.
[30] Yusuf Qardhawi, Hal 107.
[31] Yusuf Qardhawi, Hal 98.
[33] Kebutuhan bisa di artikan sebagai
hasrat manusia yang perlu dipenuhi atau di puaskan.
[34] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an,
(Mizan, Bandung: 2007) hal 537.
[35] Pemborosan adalah pengeluaran yang
melebihi kebutuhan-kebutuhan nyata, yang untuk sedekah dan untuk membiayai
kepentingan umum.
[36] QS. Al-Isra’: 26-27.
No comments:
Post a Comment