loading...

Tuesday, 5 November 2013

Norma dan Prinsip-prinsip Ekonomi Islam



BAB I
PENDAHULUAN

      A.    Latar Belakang
Ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah atau sistem ekonomi koperasi berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam kaca mata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi ibadah yang teraplikasi dalam etika dan moral.

Inti pokok diciptakannya manusia dimuka bumi ini adalah untuk senantiasa menyembah kepada-Nya. Sementara pada sisi yang lain Allah SWT juga memerintahkan manusia sebagai khalifah yang tugas utamanya adalah memakmurkan bumi Allah. Sekilas kedua makna ayat tersebut diatas memang nampak ada kontradiksi. Akan tetapi setelah di kaji lebih dalam ternyata ayat tersebut masih tetap dalam satu jalur yang sama. Yaitu makna penyembah tidak hanya dalam bentuk ritual ibadah kepada Allah semata, akan tetapi setiap derap langkah manusia apabila di dasari oleh tauhid merupakan implementasi dari pada penyembahan kepada Allah, berupa tetap konsisten dalam ketaatan aturan-aturan syari’ah.
Manusia di hadapan Allah disamping seorang hamba juga adalah sebagai khalifah dimuka bumi. Maka sebagai khalifah manusia mempunyai tugas utama yaitu untuk memakmurkannya.  Dan implementasinya adalah melakukan kegiatan ekonomi yang merupakan salah satu pilar penting dalam kehidupan.

      B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang dapat diambil adalah bagaimana norma dan prinsip-prinsip ekonomi Islam?

C.    Tujuan dan Manfaat
Tujuan Penulisan:
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana norma dan prinsip-prinsip ekonomi Islam.
Manfaat Penulisan:
  1. Manfaat akademis, dapat menjadi sumbangan teoritis dan pemikiran untuk pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang ekonomi islam.
  2. Manfaat praktis, dapat menjadi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan.











BAB II
PEMBAHASAN
A. Pandang Yahudi dan Nasrani terhadap ekonomi
Pada dasarnya semua agama Samawi adalah mengajarkan agama yang lurus “hanif” kepada seluruh umatnya. Akan tetapi seiring dengan waktu agama yang lurus tersebut telah banyak mengalami distorsi dan pembiasan sehingga timbul bayak kerusakan baik dalam tatanan politik, ekonomi, sosial maupun budaya.
Seperti telah tersurat dalam Al-Qur’an bahwa orang-orang Yahudi memiliki sifat-sifat yang sangat tercela sebayak 22 sifat[1], diantaranya adalah mengubah dan memutarbalikkan kebenaran[2], mencintai kemewahan dan kehidupan dunia, bersifat tamak dan rakus, menginginkan umur yang panjang dan mengejar kesenangan serta takut akan kematian[3]. jadi jika dilihat dari beberapa sifat tersebut diatas sangatlah wajar jika terjadi bayak kerusakan karena fakta telah diputarbalikkan, kebenaran disembunyikan sehingga yang  ada hanyalah kekacauan dan kerusakan.
Melihat kondisi seperti itu maka Allah SWT mengutus seorang rasul yaitu Isa AS atau Yesus ke kalangan yahudi untuk mengakhiri materialism mereka yang berlebih-lebihan[4]. Yesus berkata bahwa “ manusia tidak hanya hidup dengan sepotong roti saja”, ini merupakan salah satu ajaran utama Matius dan Lukas. Pernyataan ini  merupakan sebuah sindiran bagi mereka yang begitu mengagung-agungkankan materi. Dan menegaskan pula bahwa selain keperluan untuk memenuhi kebutuhan materi juga harus memperhatikan aspek rohani/spiritualnya sehingga akan terjadi keseimbangan antara materi dan rohani.
Akan tetapi lagi-lagi pembiasan agama terulang, jika Orang Yahudi secara ekstrim begitu mengagung-agungkan materi berbeda dengan orang-orang Kristen yang membenci atau bahkan menolak materi. Model pemikiran seperti ini di pengaruhi oleh orang-orang Hellenik yang menyatakan pengingkaran kepada materi. Dalam Gnostisme menegaskan bahwa “spiritualis adalah berbeda jauh dari alam atau materi”. Jadi pengingkaran terhadap dunia material sangat dipengaruhi oleh sikap-sikap Gnostik. Dalam sejarah Kristen pernyataan Yesus telah menjadi landasan bagi ideology anti-materialis. Ia tumbuh menjadi pengingkaran total terhadap materi , dunia dan kemudian berkembang menjadi suatu etika isolasianis, sinisme politik, etika kependetaan. Kemudian mengubah diri dari ajaran Yesus menjadi ajaran Kristiani. [5]
Pandangan ini hampir sama dengan pandangan agama hindu India. Dalam pandangan ini pengolahan dunia materi, melahirkan keturunan, mobilisasi untuk pangan, mengubah dunia menjadi sebuah taman dan sejarah akan memperpanjang kebandaan. Jadi dalam pandangan ini adalah agama hanya menjunjung tinggi moralitas dan individualistic. Maka berangkat dari fenomena ini Islam datang untuk meluruskan kesalahpahaman dan mengembalikan keseimbangan antara material dan spiritual.
Abad modern dimulai dari pada masa translation age pada tahun 1050-1150. dengan spirit keilmuan scientific. Pada masa ini pula rasionalisasi dan sekulerisasi  atau desakralisasi agama terjadi[6].  Seperti dikatakan James e. Crimmins  “proses desakralisasi memang sengaja diarahkan untuk melawan agama dan di gambarkan sebagai agen utama untuk menggeser dan menggusur agama tradisional. Jadi kebangkita barat memang di awali dari scientific dan liberalisasi agama.

B. System ekonomi Kapitalis dan Sosialis
Kapitalis adalah system ekonomi yang mengedepankan egoism, bebas menumpuk harta kekayaan, mengembangkannya dan membelanjakannya. Pemikiran yang berorientasi pada individualism sama sekali tidak memerhatikan kepentingan orang lain kecuali kalau ada manfaat yang dapat dipetiknya. Jadi sikap ini tidak pernah memikirkan apa dan siapa kecuali laba dalam jumlah besar[7].
Berbeda dengan kapitalis. Jiwa peraturan sosialis bertolak belakang dengan kapitalisme. Sosialis berjiwa merampas hak individu satu visi “sama rasa sama rata”.  Meskipun tujuan utama sosialisme adalah untuk memberikan tingkat kesejahteraan yang merata bnagi masyarakat namun dalam kenyataannya keadaan ekoniminya tidak lebih baik jika di bandingkan dengan kapitalisme, karena saat ini tidak ada negara sosialis yang relatif maju dalam perekonomiannya.
C. Norma dan Prinsip-prinsip Ekonomi Islam
Ekonomi Islam adalah suatu system ekonomi yang tujuan utamanya adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan secara merata. Adapun yang dimaksud kesejahteraan (al-falah) adalah sebuah kondisi dimana  al-daruruyyat al-khams (lima kebutuhan primer) dapat terpelihara dan terjamin dan terpelihra keberadaannya dalam kehidupan manusia itu sendiri. Lima kebutuhan primer tersebut adalah terdiri dari pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta[8].
Maka untuk merealisasikan tujuan ini perlu dibutuhkan suatu system yang akan mendukung terciptanya tujuan tersebut yaitu berupa nilai dan prinsip-prinsip syariah. System nilai pada hakekatnya sesuatu yang akan memberikan makna dalam kehidupan manusia dalam setiap peran yang dilakukan.[9] Dalam system ekonomi Islam terdapat system yang saling terkait antara satu dengan lainnya, yaitu mencakup pandangan dunia (al-kholqiyah) dan moral (al-khuliqiyah) yang mempengaruhi, membimbing dan membantu manusia merealisasikan sasaran-sasaran kemanusiaan (insaniyah) yang berketuhanan (rabbaniyah) guna mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Maka untuk merealisasikan tujuan ini terdapat empat landasan filosofis dalam ekonomi Islam yaitu: tauhid, keadilan, khalifah, kebebasan dan tanggungjawab.
a. Tauhid
Untuk mencapai kesejahteraan satu-satunya landasan paling fundamental adalah tauhid, karena dengan landasan tauhid ini dapat di bedakan antara ekonomi Islam dengan Ekonomi konvensional. Tauhid membersihkan agama secara mutlak dari semua keraguan menyangkut transendensi dan keesaan tuhan. Hanya Allah lah yang patut di agungkan dan di sucikan, dijadikan tempat mengadu dan meratap [10] Dengan tauhid itu manusia  bisa  mencapai dua tujuan sekaligus, yaitu mengukuhkan tuhan sebagai satu-satunya pencipta alam semesta  dan mensederajatkan semua manusia sebagai mahluk tuhan.[11] Dan yang membedakan derajat seseorang dihadapan Allah SWT adalah ketaqwaannya.
Begitu juga dalam pandangan dunia holistic tauhid bukanlah hanya sekedar ajaran tentang kepercayaan kepada tuhan yang maha esa, akan tetapi jauh lebih mencakup pengaturan tentang sikap manusia terhadap tuhan dan terhadap sumber-sumber daya manusia maupun alam semesta.aspek terpenting dari tauhid disini adalah berfungsi untuk membangun kualitas-kualitas individu, sekaligus juga membina masyarakat, yang keanggotaannya terdiri dari individu-individu[12]. Juga tauhid mengandung arti bahwa alam semesta ini diciptakan dan di desain  oleh tuhan yang maha esa secara sadar, yang bersifat esa dan unik, dan tidak terjadi dari factor kebetulan atu aksidentil.[13]
Karena Allah menciptakan segala sesuatunya dengan suatu tujuan yang jelas, maka ini akan memberikan arti yang cukup signifikan bagi jagad raya, dimana manusia sebagai actor utamanya. Maka setelah penciptaan ini, tuhan tidak pensiun . ia aktif terlibat dalam segala urusannya dan selalu waspada dan melihat kejadian yang paling kecil sekalipun.[14]
b. Khalifah
Manusia diciptakan selain untuk menyembah kepada-Nya tetapi juga ditugaskan sebagai wakil-Nya dimuka bumi[15]. Ia telah dibekali dengan semua karakteristik mental dan spiritual serta materil untuk memungkinkannya hidup dan mengemban misinya secara efektif.[16]
Manusia sebagai khalifah atau dalam pengertian pengelolaan disebut khilafah. Yaitu fungsi utamanya menyediakan basis bagi system perekonomian dimana kerjasama atau gotong royong mengganti kompetisi yang selama ini menjadi ciri dominan proses  interaksi ekonomi konvensional.
Dalam pengolahan dan pengelolaan disini terkandung makna sinergi yang memberi tekanan pada kerjasama dan tolong menolong[17] dalam arti bahwa mereka yang bekerja meraih kemakmuran dibumi harus dilakukan tanpa melakukan pengorbanan terhadap orang lain (al-fasad) sementara kalau memperoleh kelebihan harus digunakan untuk member manfaat dan pertolongan kepada sesama.
c. Keadilan dan keseimbangan
Konsep tauhid dan khilafah akan tetap menjadi konsep yang kosong dan tidak memiliki substansi jika tidak dibarengi dengan keadilan sosio-ekonomi. Seperti dikatakan oleh Ibnu Taimiyah bahwa” Allah menyukai negeri adil meskipun kafir, tetapi tidak menyukai Negara tidak adil meskipun beriman, dan dunia akan dapat bertahan dengan keadilan meskipun tidak beriman, tetapi tidak akan bertahan dengan ketidakadilan meskipun Islam”. Keadilan telah dipandang oleh para fuqaha’ sebagai isi pokok maqashid asy-syari’ah. Islam sangat menentang keras berbagai bentuk ketidakadilan, ketidak merataan,eksploitasi, penindasan dan kekeliruan, sehingga seseorang menjauhkan hak orang lain atau tidak memenuhi kewajibannya terhadap mereka[18].
d. Kebebasan (al-khuriyyah)
Tidak ada kalimat yang merdu di dengar, yang indah dirasakan, dan selalu menjadi dambaan insan setelah aqidah dan keimanan menancap di kalbu kecuali senandung kalimat kebebasan. Akan tetapi kebebasan disini bukan berarti bebas mutlak tanpa batas, tetapi kebebasan yang terikat dengan hak-hak orang lain, dengan kepentingan umum bagi masyarakat, dan terpenting lagi adalah keterikatan dengan koridor syari’ah, juga system undang-undang sipil dalam suatu Negara[19].
Disini manusia mempunyai suatu kebebasan untuk berbuat suatu keputusan ekonomis yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Karena dengan kebebasan itu manusia dapat mengoptimalkan  potensinya dengan melakukan inovasi-inovasi dalam kegiatan ekonomi. Maka konsekuensi dari kebebasan ini adalah sebuah keniscayaan untuk seluas-luasnya terus mengembangkan kreatifitasnya, melakukan inovasi-inovasi ekonomi sesuai dengan kebutuhan manusia juga kebutuhan pasar yang secara dinamis mengalami perubahan-perubahan.[20]
e.    Tanggung jawab (al-mas’uliyyah)
Tanggung jawab adalah merupakan konsekuensi logis daripada sebuah kebebasan. Dalam pandangan Islam tanggung jawab manusia hanya tidak sebatas tanggung jawab individu dan sosial, tetapi yang lebih penting lagi adalah tanggungjwab dihadapan Allah SWT. Maka dari itu  makna kebebasan adalah suatu amanah dari Allah yang harus di implementasikan manusia dalam aktifitas kehidupannya.
Pertanggungjawaban manusia perlu difahami dalam dua aspek, yaitu aspek transcendental (transcendental accountability) yaitu suatu keyakinan akan adanya hari pembalasan, perhitungan sebagai self control. Sehingga bagi orang yang sadar  akan eksistensi hari pembalasan akan mampu mengartikulasikan kehidupan dengan sikap dan perilaku yang baik.[21]karena pada hari perhitungan nanti manusia akan disuruh membaca sendiri catatan amalannya, untuk menjustifikasi eksistensinya di muka bumi.[22]
Dari kelima landasan filosofis tersebut yang merupakan landasan pokok  dalam kegiatan ekonomi masih merupakan teori-teori ekonomi. Maka perlu kiranya dijelas lebih lanjut bagai mana ekonomi islam menjelaskan yang tidak hanya dalam tataran filosofis-akademis tetapi juga bagaimana praktiknya dalam tataran praktis dan empiris. Yaitu tiga pembahasan pokok ekonomi berupa  produksi, konsumsi, dan distribusi.

D.  Produksi dan Konsumsi
a) produksi
Para ahli ekonomi mendefinisikan produksi sebagai “menghasilkan kekayaan melalui eksploitasi manusia terhadap sumber-sumber kekayaan lingkungan” Atau bila kita artikan secarakonvensional, produksi adalah proses menghasilkan atau menambah nilai guna suatu barang atau jasa dengan menggunakan sumber daya yang ada. Produksi tidak berarti menciptakan secara fisik sesuatu yang tidak ada, karena tidak ada seorang pun yang dapat  menciptakan benda[23].
Produksi merupakan suatu kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan. Kegiatan menambah daya guna suatu benda tanpa mengubah bentuknya dinamakan produksi jasa. Sedangkan kegiatan menambah daya guna suatu benda dengan mengubah sifat dan bentuknya dinamakan produksi barang. Produksi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk mencapai kemakmuran.[24]. Kemakmuran dapat tercapai jika tersedia barang dan jasa dalam jumlah yang mencukupi. Atau Produksi adalah usaha untuk menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Di dalam produksi terdapat empat factor yaitu: tenaga kerja, tanah, modal dan keahlian keusahawanan[25]. Dari keempat factor tersebut tenaga kerja atau manusia adalah factor terpenting dalam menjalankan roda perekonomian.
Karena itu Islam sangat mendukung maksimalisasi produksi. Ia mengharapkan setiap orang memproduksi lebih banyak dari apa yang dikonsumsinya, dan memberikan lebih banyak jasa dari yang diterimanya.[26]Dijadikannya kerja, produksi pangan, pembangunan desa-desa dan kota-kota, pemberian jasa, pengembangan budaya dan peradaban,  menjalankan kegiatan pendidikan merupakan tugas utama manusia sebagai khalifah. Jadi disini jelas sekali bahwa manusia harus berproduksi. Bahkan rasullulah sangat mencintai sahabat yang ketika hijarah ke Madinah  menolak menerima bantuan dari kaum Anshor. Tetapi justru lebih suka pergi kepadang terbuka untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian mengendongnya/ memanggulnya untuk di jual kepasar. Kemudian dengan modal sedikit demi sedikit mereka merintis dagang dengan modalnya sendiri.
Dalam berproduksi yang menjadi syarat utamanya adalah produksi dalam lingkaran halal. Seorang muslim tidak boleh menanam segala jenis tumbuhan yang membahayakan manusia, seperti tembakau yang menurut keterangan WHO, sains, dan hasil riset, berbahaya bagi manusia..[27] Demikia juga menanam anggur jika di niatkan untuk membuat wine (minuman keras) hukumnya haram karena hal itu turut serta dalam tersebarnya kejahatan dan kriminalitas. Kemudian juga produk yang merusak akidah, etika dan moral manusia seperti produk pornografi dan sadism, baik berupa opera, film atau berbagai media lainnya. Juga disyaratkan dalam prokuksi adalah tidak adanya unsure penipuan dan pemalsuan.[28] Jadi produk apa saja yang
Dalam Islam terdapat empat prinsip dalam berproduksi. Pertama, tidak memproduksi barang-barang yang tujuan utamanya hanya untuk mencapai keuntungan semata-mata. Tetapi produksi harus ditujukan untuk menghasilkan barang-barang yang bermanfaat dan berguna bagi masyarakat.  Keuntungan materi haruslah ditempatkan sebagai tujuan sampingan, bukan tujuan utama. Kedua,  tidak memproduksi barang-barang yang membahayakan. Ketiga, barang yang diproduksi harus tampil apa adanya, tidak ada permax dan manipulasi dan yang ke empat adalah siap mendapatkan sanksi jika melakukan pelanggaran etika produksi.[29]
Dalam hal ini Islam sangat menekankan umatnya untuk memproduksi dan berperan dalam berbagai bentuk aktivitas ekonomi : pertanian, perkebunan, perindustrian dan juga perdagangan. Dalam hal ini Isam memberikan kebebasn kepada setiap manusia untuk membuat aturan main sesuai dengan tingkat kreatifitasnya, keilmuan, situasi dan kondisi, karena hal ini termasuk urusan dunia yang senantiasa dinamis. Inilah yang dimaksudkan nabi dengan ucapannya” kamu lebih tahu dengan urusan duniamu”. Oleh karena itu Islam menghargai pekerjaan dunia ini dan menjadikannya bagian dari ibadah dan jihad[30].
Di era modern seperti ini sudah waktunya memaksimalisasi pendayagunaan sarana dan alat-alat modern, juga mengupayaan efisiensi dalam produksi, peningkatan kwalitas mutu dengan harga yang bersing sehingga tetap bisa terjangkau oleh konsumen. Jadi dalam tataran teknis bisa menggunakan apa saja asalkan prioritas utamanya adalah terciptanya kemaslahatan bagi manusia, terhindarnya manusia dari kemudharatan dan juga terciptanya efisiensi dalam kehidupan[31].
b). Konsumsi
Konsumsi, dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung[32].
Kebutuhan[33] dasar (primer) manusia meliputi sandang, pangan dan papan Konsumsi merupakan kebutuhan sehari-hari manusia yang  harus senantiasa terpenuhi. Dalam Alqur,an juga secara tegas menyebutkan ketiga macam kebutuhan primer itu dan mengingatkan manusia pertama (Adam) tentang keharusan pemenuhannya sebelum menginjakkan kakinya dimuka bumi[34]. Dijelaskan dalam al-Qur’an at-Thaha 117-119 bahwa yang dimaksud bersusah payah adalah  bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, yang dilukiskan “tidak lapar dan tidak dahaga” seperti disurga. Sedangakan sandang dilukiskan engan “tidak telanjang” dan papan telah di isyaratkan oleh kalimat “tidak disengat matahari panas.
Dalam pola makan ada perintah makanlah (kullu) dan minumlah wasrobuu, tetapi juga adanya warning janganlah berlebih lebihan wala tusrifuu.  Yang menjadi batas minimumnya adalah kebutuhan hidup pokok (efisien) dan batas maksimumnya adalah titik dimana konsumsi menjadi tabdzir, atau pemborosan[35].
Dalam al-Qur-an secara tegas menyatakan bahwa pemborosan adalah teman-teman setan. Sedangkan setan itu sangat ingkar kepada tuhannya[36]. Makna teman disini artinya menyerupai setan dalam artian menyerupai dalam perbuatan buruk. Karena berlebih-lebihan dalam hal makanan akan menimbulkan daya destruktif baik psikis maupun biologis. Emha Ainin Nadjib mengatakan” narkotika tidak hanya terbatas pada racikan serbuk-serbuk yang membahayakan, tetapi juga racikan-racikan budaya yang berupa isme-isme yang menyesatkan dan juga konsumsi secara berlebihan termasuk jenis narkotika kebudayaan”.
c) Distribusi
Distribusi adalah penyebaran pengeluaran dan pemasukan individu.[37] Jadi seseorang yang memilii kelebihan dalam konsumsi dan pendapatan haruslah di investasikan dalam suatu usaha yang produktif dan membuka lapangan-lapangan kerja dan menjadikan sumber penghasilan bagi orang lain. Investasi bisa dalam bentuk mudharabah atau musyarakan. Dan bisa juga  Juga dalam bentuk Qardhul hasan.
Dalam Islam sangat dilarang melakukan penimbunan barang yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang jauh lebih tinggi, juga membiarkan uang yang ada dalam keadaan pasif. Karena hal ini akan menghambat roda perputaran ekonomi secara makro yang akan berpengaruh pada lesunya tingkat produksi.
Maka distribusi dalam bentuk investasi juga ada distribusi yang sifatnya sukarela yaitu Sedehak. Sedekah dipandang sebagai nilai tinggi dan kebajikan moral dan hal ini sangat dianjurkan dalam Islam. Karena dengan sedekah bisa dijadikan sarana penebus kesalahan dan patut mendapat pahala yang besar[38].
Khusus untuk harta kekayaan yang sudah melebihi nisab disini ada keharusan distribusi yang sifatnya diwajibkan yaitu mengeluarkan zakat mal. Zakat adalah kewajiban utama setelah sholat. Sesungguhnya sholat hampir tidak pernah disebut tanpa di ikuti oleh zakat, baik secara langsung maupun dalam ayat berikutnya. Dan orang yang beriman selalu dilukiskan sebagai mereka yang percaya kepada yang ghaib, mengerjakan sholat serta membayar zakat. Arti harfiah zakat adalah “pemanis” yang berarti bahwa harta akan menjadi “asam jika tidak di keluarkan zakatnya. Ini berbeda dengan shadaqah  yang sifatnya adalah anjuran, akan tetapi untuk zakat wajib hukumnya untuk di keluarkan. Karena di dalam harta orang kaya terdapat hak-hak orang miskin yang harus disalurkan[39].
Akhirnya zakat dan sedekah bersama-sama harus membawa masyarakat sedekat mungkin kepada cita-cita keadilan sosial demi tercapainya kesejahteraan. Maka disinilah letak pemerataan distribusi dalam islam. Dengan adanya zakat ketimpangan antara sikaya dan si miskin dapat di jembatani sehingga benar-benar dapat tercipta keadilan sosial dan kesejahteraan di dunia dan di akherat dapat terealisasikan secara kongkrit.












BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berbeda antara antara Yahudi dan Nasrani dalam menyikapi masalah ekonomi.  Yahudi memandang Materi secara berlebih-lebihan atau dengan bahasa lain, terlalu mengagung-agungkan materi, sedangkan Nasrani adalah sebaliknya yaitu bersikap fatalistic terhadap materi. Maka Islam datang memberikan pencerahan. Bahwa materi di perlukan dalam proporsi yang wajar atau tidak berlebih-lebihan.
Begitu juga system ekonomi kapitalis dan sosialis berbeda dengan  Islam. Dalam ekonomi kapitalis lebih cenderung pada kebebasan individu sedangkan sosialis lebih pada pemerataan sama rata sama rasa. Kedua system ini tidak mengenal system nilai. Berbeda dengan system ekonomi Islam yang berpijak pada landasan filosofis berupa tauhid, keadilan, khalifah, kebebasan dan tanggungjawab. Begitu juga dalam produksi dan konsumsi tetap berpegang pada nilai-nilai dan etika Islam.
Dalam menjalankan roda perekonomian ditekankan saling menolong dan bersedekah. Hal ini tentunya dapat membuat kehidupan dalam Islam bukan dalam suasana persaingan hukum rimba, tetapi suasana persaudaraan. Pada intinya, dalam Islam lapangan persaingan ekonomi adalah lapangan yang fair dan manusiawi serta suasana hubungan antar manusia diliputi semangat solidaritas dan ketakwaan. Ini semua tentu mempermudah terciptanya kesejahteraan.
B. Saran
Diharapkan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan bisa lebih dimengerti dan memahami lebih dalam tentang norma dan prinsip-prinsip ekonomi islam seperti yang telah di jelaskan dalam makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruqi, Isma’il Razi. 1988. Tauhid. Bandung: Penerbit Pustaka.
Chapra, Umer. 2000. Islam dan Tantangan Ekonomi. Jakarta: Gema Insani Press.
http://id.wikipedia.org/wiki/Produksi, konsumsi dan distribusi.
Nurrudin, Amiur. Kesejahteraan Sejati dalam Perspektif Ekonomi Islam, “ Tsaqafah: Jurnal   Peradaban Islam”, Vol 3 No 1(ISID, Dzulqa’dah 1427).
­­­­__________.  SDM Berbasis Syari’ah, “ Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam”, Vol. 6 No.1(ISID, April 2010)
Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press.
Shihab, Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung, Mizan.
Sukirno, Sadono. 1994. Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Jakarta: Rajawaji Press.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2009. liberalisasi pemikiran Islam. Gontor: CIOS.
Zuhaili, Wahbah. 2005. Kebebasan Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.



[2] Al-Baqarah:75,91,101,140,145,211 ; Ali Imron:71,78 ; An-Nisa:46 ; Al-Maidah:41
[3] (QS al–Baqarah:90,95,96,212)
[4] Isma’il Razi Al-Faruqi, Tauhid, (Penerbit Pustaka, bandung: 1988) hal 163.
[5] Ibid hal 163.
[6] Hamid Fahmy Zarkasyi, liberalisasi pemikiran Islam,(CIOS, Gontor: 2009) hal 7.
[7] Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Gema Insani Press, Jakarta, 1997) hal 69.
[8] Amiur Nurrudin, Kesejahteraan Sejati dalam Perspektif Ekonomi Islam, “ Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam”, Vol 3 No 1(ISID, Dzulqa’dah 1427) hal 97.

[9] Amiur Nurrudin, SDM Berbasis Syari’ah, “ Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam”, Vol 6 No 1(ISID, April 2010) hal 29.
[10] Yusuf Qardhawi, hal 203.
[11] Isma’il Razi Al-Faruqi, hal 165
[12] Ibid hal 30.
[13] QS. Ali Imron 191.
[14] Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Gema Insani Press, Jakarta, 2000) hal, 204.
[15] QS. Al-Baqarah: 30.
[16] Umer Chapra, hal 204.
[17] Qs. Al-Maidah: 5,2.
[18] Umer Chapra, hal, 211.
[19] Wahbah Zuhaili, Kebebasan Dalam Islam, (Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2005) hal 3.
[20] Amiur Nurrudin, SDM Berbasis Syari’ah, hal 34.
[21] Ibid hal, 35.
[22] Isma’il Razi Al-Faruqi, hal 180.
[25] Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, (Rajawaji Press, Jakarta, 1994) hal 192.
[26] Isma’il Razi Al-Faruqi, hal 18o.
[27] Yusuf Qardhawi, hal 117.
[28] Ibid hal 118.
[29] Isma’il Razi Al-Faruqi, hal 184.
[30] Yusuf Qardhawi, Hal 107.
[31] Yusuf Qardhawi, Hal 98.
[33] Kebutuhan bisa di artikan sebagai hasrat manusia yang perlu dipenuhi atau di puaskan.
[34] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Mizan, Bandung: 2007) hal 537.
[35] Pemborosan adalah pengeluaran yang melebihi kebutuhan-kebutuhan nyata, yang untuk sedekah dan untuk membiayai kepentingan umum.
[36] QS. Al-Isra’: 26-27.
[38] QS. At-Taubah, 9: 103.[39] Isma’il Razi Al-Faruqi, hal 187.

No comments:

Post a Comment