BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Mengungkap
cacat/keburukan orang lain diperbolehkan hanya hal itu lebih besar, misalnya
ketika seeorang saksi pengadilan mengemukakan kesaksiannya di depan hakim secara jujur mengenai keburukan
seseorang untuk mengungkap suatu tindakan kejahatan perilaku saksi ini
dibenarkan merupakan satu-satunya cara untuk menghindari terjadinya keburukan
yang menurut islam.
Dalam islam penyembelihan
yang halal adalah penyembelihan yang bukan di atas namakan selain Allah,
misalnya untuk persembahan dewa, dan disembelih dengan benda yang tajam sehingga darah binatang bisa keluar dengan sempurna.
Dalam kaidah fiqih pada
umunya, setiap perbuatan dapat dikategorikan secara hukum islam menjadi lima,
yaitu haram, makruh, mubah, sunah, dan wajib. Hal ini terkait dengan derajat
keberpihakan islam terhadap perbuatan tersebut. Perbuatan dihukumi haram jika
perbuatan itu dilarang dan karenanya pelakunya akan mendapat siksa. Sebaliknya
, hukum wajib muncul terhadap hal-hal yang diperintahkan untuk dilakukan dan
imbalan pahala ( berkah ) bagi pelakunya. Di antara keduanya terdapat sunah,
yaitu perbuatan yang dianjurkan oleh islam, yaitu akan mendatangkan pahala bagi
pelakunya, namun tidak memberikan siksa bagi yang meninggalkannya.
B.
Tujuan
Ø
Dapat mengetahui teori konsumsi dalam islam
dengan benar
Ø
Untuk mengetahui hokum konsumsi dalam islam
Ø
Untuk mengetahui nilai-nilai ekonomi islam dala
hokum konsumsi
1
BAB II
PEMBAHASAN
TEORI KONSUMSI
A.
Pengertian
Konsumsi adalah kegiatan ekonomi yamg
penting, bahkan terkadang dianggap paling penting. Dalam mata rantai kegiatan
ekonomi, yaitu produksi-konsumsi-distribusi, seringkali muncul pertanyaan
manakah yang paling penting dan paling dahulu diantara mereka. Jawaban atas
pertanyaan ini jelas tidak mudah, sebab memang ketiganya merupakan mata rantai
yang terkait satu dengan lainnya. Kegiatan produksi ada karena ada yang
mengkonsumsi, kegiatan konsumsi ada karena ada yang memproduksi, dan kegiatan
disribusi muncul karena ada gap atau jarak antara konsumsi dan
produksi.
Dalam ekonomi
konvesional perilaku konsumsi dituntun oleh dua nilai dasar, yaitu rasionalisme
dan utilitarianisme. Kedua nilai dasar ini kemudian membentuk suatu perilaku
konsumsi yang hedonistic materialistik serta boros (wastefull). Karena
rasionalisme ekonomi konvensional adalah self-interst, perilaku
konsumsinya juga cenderung individualistik sehingga seringkali mengabaikan
keseimbangan dan keharmonisan social. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
prinsip dasar bagi konsumsi adalah “saya akan mengkonsumsi apa saja dan dalam
jumlah berapapun sepanjang: (1) anggaran saya memadai, (2) saya memperoleh
kepuasan yang maksimum”. Apakah perilaku konsumsi yang seperti ini dapat
dibenarkan oleh ajaran Islam?
Dalam
menjelaskan konsumsi, kita mengasumsikan bahwa konsumen cenderung untuk memilih
barang dan jasa untuk memberikan mashlahah maksimum. Hal ini sesuai dengan
rsionalitas islami bahwa setiap pelaku ekonomi selalu ingin meningkatkan
mashlahah yang diperolehnya. Keyakinan bahwa ada kehidupan dan pembalasan yang
adil di akhirat serta informasi yang berasal dari Allah adalah sempurna akan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kegiatan konsumsi.
Mengkonsumsi
yang halal saja merupakan kepatuhan kepada Allah, kerenanya memperoleh pahala.
Pahala inilah yang kemudian dirasakan sebagai berkah dari barang/jasa yang
telah di konsumsi. Sebaliknya, konsumen tidak akan mengkonsumsi barang-
barang/jasa yang haram karena tidak mendatangkan berkah. Mengkonsumsi yang
haram akan menimbulakan dosa pada akhirnya akan berujung pada siksa Allah. Jadi
mengkonsumsi yang haram justru memberikan berkah negative.
2
Misalnya, ketika seorang menonton televise di pagi hari, maka
ia bisa memilih channel mengenai berita
politik dan hokum. Berita kriminal, silm cartun, hiburan music atau siaran lainnya. Setiap
jenis siaran tersebut dirancang untuk mampu memberikan manfaat bagi penontonya,
baik berupa layanan informasi maupun kepuasan psikis.
1.
Kebutuhan dan Keinginan
Secara
umum, pemenuhan terhadap kebutuhan akan memberikan tambahan manfaat fisik, aspiritual,
intelektual ataupun material, sedangkan pemenuhan keinginan akan menambah kepuasan
atau manfaat psikis di samping manfaat lainnya. Jika suatu kebutuhan diinginkan
oleh seseorang, maka pemenuhan kebutuhan tersebut akan malahirkan mashlahah
sekaligus kepuasan, namun jika pemenuhan tidak dilandasi oleh keinginan, maka
hanya akan memberikan manfaatan semata. Dalam kasus, jika yang diinginkan bukan
merupakan suatu kebutuhan, maka pemenuhan keinginan trsebut hanya nakan
memberikn kepuasan saja.
Secara
umum dapat dibedakan antara kebtuhan dan keinginan sebagaimana dalam tabel
berikut.
Karakteristik
|
Keinginan
|
Kebutuhan
|
Sumber
|
Hasrat
(nafsu) manusia
|
Fitrah
manusia
|
Hasil
|
Kepuasan
|
Manfaat
& berkah
|
Ukuran
|
Preferensi
atau selera
|
Fungsi
|
Sifat
|
Subjektif
|
Objektif
|
Tuntunan
Islam
|
Dibatasi/dikendalikan
|
Dipenuhi
|
2.
Mashlahah dan Kepuasan
Kepuasan
adalah merupakan suatu akibat dari terpenuhinya suatu keinginan, sedangkan
mashlahah merupakan suatu akibat atas terpenuhinya suatu kebutuhan atau fitrah.
Meskipin demikian, terpenuhinya suatu kebutuhan juga akan memberikan kepuasan
terutama jika kebutuhan tersebut disadaridan diinginkan.
Berbeda dengan kepuasan yang bersifat
individualis, mashlahah tidak hanya dirasakan oleh individu. Mashlahah bisa
jadi dirasakan oleh sekelompok masyarakat. Sebagai misal ketika seorang
membelikan makanan untuk tetangga miskin, maka mashlahah fisik/psikis akan
dinikmati oleh tetangga yang dibelikan makanan, sementara itu, si pembeli/konsumen
akan mendapakan berkah.
3
3.
Mashlahah dan nilai-nilai ekonomi Islam
Sebagaimana
telah dijelaskan, perekonomian Islam akan terwujud jika prinsip dan nilai-nilai
Islam ditrapkan secara bersama-sama. Pengabaian terhadap salah satunya akan
membuat perekonomian pincang. Penerapan prinsip ekonomi yang tanpa diikuti oleh
pelaksanaan nilai-nilai Islam hanya akan memberikan manfaat (mashlahah
duniawi), sedangkan pelaksanaan sekaligus prinsip dan nilai akan melahirkan
manfaat dan berkah atau mashlahah dunia akhirat.
4.
Penentuan dan Pengukuran Mashlahah bagi Konsumen
Besarnya berkah yang diperoleh berkaitan
langsung dengan frekuensi kegiatan konsumsi yang dilakukan. Semakin tinggi
frekuensi kegiatan yang bermashlahah, maka semakin besar pula berkah yang akan
diterima oleh pelaku konsumsi. Dalam Alquran, Allah menjelaskan bahwa setiap
amal perbuatan (pahala maupun siksa) yang setimpal meskipun amal perbuatan itu
sangatlah kecil bahkah sebesar biji sawi. Dengan demikian, dapat sitafsirkan
bahwa mashlahah yang diterima akan maerupakan perkalian antara pahala dan
frekuensi kegiatan tersebut.
a.
Formulasi masalah
Sebagaimana dipaparkan di depan bahwa
alam mashlahah terkandung unsur manfaat dan berkah. Hal ini akan dituliskan
sebagai berikut :
M
= F+B
M
= Mashlahah
Dimana
F = manfaat
B
= Berkah
Sementara
dalam paparan di muka tekah disebutkan bahwa berkah merupakan interaksi antara
manfaat dan pahala, sehingga :
B =
(F)(P) (4.2)
Di mana P = pahala total
Adapun pahala total, P adalah :
P =
β¡p (4.3)
Dimana β¡ adalah frekuensi kegiatan dan p
adalah pahala per unit kegiatan.
4
b.
Pengukuran Mashlahah konsumen
Konsumsi ibadah pada dasarnya adalah
segala konsumsi atau menggunakan harta dijalan Allah (fii sabilillah). Islam
memberikan imbalan terhadap belanja (konsumsi) ibadah dengan pahala yang sangat
besar, misalnya senilai 700 unit, dan setiap kali dilakukan amal kebaikan akan
mendapatkan imbalan pahala yang sama, yaitu tujuh ratus kali lipat.
Sebagai
ilustrasi, tabel berikut menyajikan mashlahah atas ibadah mahdhah atau amal
saleh, yaitu ibadah yang tidak secara langsung terkait dengan kemanfaatan dunia bagi pelakunya.
Dalam hal ini pelaku ibadah tidak merasakan manfaat duniawi bagi dirinya, melainkan
perasaan aman dan tenteramm akan berkah yang akan diberikan Allah.
Mashlahah
dari Belanja di Jalan Allah
Frekuensi kegiatan
(1)
|
Pahala per unit
(2)
|
Mashlahah = berkah
(1x2)
|
1
|
700
|
700
|
2
|
700
|
1.400
|
3
|
700
|
2.100
|
4
|
700
|
2.800
|
5
|
700
|
3.500
|
6
|
700
|
4.200
|
7
|
700
|
4.900
|
8
|
700
|
5.600
|
c.
Karakteristik Manfaat dan Berkah dalam Konsumsi
Mashlahah dalam konsumen muncul ketika
kebutuhan riil terpenuhi, yang belum tentu dapat diraskan sesaat setelah
melakukan konsumsi. Misalnya, ketika konsumen membeli barang-barang tahan lama,
seperti sepeda motor, kebutuhan riil baru di ketahui setelah sepeda motor
digunakan berkali-kali. Kepuasan yang dirasakan konsumen karena murahnyan harga
atau desain yang menarik, namun tidak awet adalah kepuasan yang lahir karena
kebutuhan semu atau jangka pendek.
5
Mashlahah
yang diperoleh konsumen ketika membeli brang dapat berbentuk satu diantara hal
berikut :
1)
Manfaat material, yaitu berupa diperolehnya
tambahan harta bagi konsumen akibat pembelian suatu barang/jasa.
2)
Manfaat fisik dan psikis, yaitu berupa
terpenuhinya kebutuhan fisik atau psikis manusia, seperti rasa lapar, haus,
kedinginan, kesehatan, keamanan, kenyamanan dan sebagainya.
3)
Manfaat intelektual, yaitu berupa terpenuhinya
kebutuhn akal manusia ketika ia membeli suatu barang/jasa, seperti kebutuhan
tentang informasi, pengetahuan, ketrampilan dan semacamnya.
4) Manfaat
terhadap lingkungan, yaitu berupa adanya eksternalitas positif dari pembelian suatu
barang/jasa atau manfaat yang bisa dirasakan oleh selain pembeli pada generasi
yang sama.
5)
Manfaat jangka panjang, yaitu terpenuhinya
kebutuhan duniawi janga panjang atau terjaganya generasi masa mendatang
terhadap kerugian akibat dari tidak membeli barang/jasa.
C.
Hukum
Utilitas dan Mashlahah
1. Hukum
Penurunan Utilitas Marginal
Utilitas marginal (MU) adalah tambahan
kepuasan yang diperoleh konsumen akibat adanya peningkatan jumlah barang/jasa
yang dikonsumsi. Untuk memberikan penggambaran yang lebih jelas, ilustrasi di
bawah ini akan menyajikan utilitas marginal yang dimaksud.
Frekuensi Konsumsi, Utilitas Total, dan
Marginal
Frekuensi konsumsi
(1)
|
Total kepuasan total utility (TU)
(2)
|
Utilitas marginal
(MU)
(3)
|
1
|
10
|
-
|
2
|
18
|
8
|
3
|
24
|
6
|
4
|
28
|
4
|
5
|
30
|
2
|
6
|
32
|
2
|
7
|
32
|
0
|
8
|
30
|
-2
|
6
Dari tabel tersebut terlihat bahwa nilai
utilitas marginal semakin menurun. Penuruna ini bisa dirasakan secara intuitif,
jika seorang mengkonsumsi suatu barang/jasa secara teus-menerus secara
berurutan, maka nilai tambahan kepuasan yang diperoleh semakin menurun.
2. Hukum mengenai Mashlahah
Hokum mengenai penurunan utilita marginal
tidak selamnya berlaku pada mashlahah. Mashlahah dalam konsumsi tidak
seluruhnya secara langsung dapat dirasakan, terutama mashlahah akhirat atau
berkah. Adapun mashlahah dunia manfaatnya sudah bisa dirasakan setelah
konsumsi. Sedangkan mashlahah dunia akan meningkat dengan meningkatnya
frekuensi kegiatan, namun pada level tertentu akan mengalami penurunan. Dengan
demikian, kehadiran mashlahan akan member “ warna ” dari kegiatan yang
dilakukan oleh konsumen Mukmin.
a.
Mashlahah Marginal dari Ibadah Mahdhah
Mashlahah marginal (MM) adalah perubahan
mashlahah, baik berupa manfaat ataupun berkah, sebagai akibat berubahnya jumlah
barang yang dikonsumsi. Dalam hal ibadah mahdhah, jika pahala yang dijanjikan
Allah adalah kosntan, maka pelaku ibadah tidak akan mendapat manfaat duniawi,
namun hanya berharap adanya pahala.
Mashlahah dari
Ibadah Mahdhah
Frekuensi kegiatan
(1)
|
Pahala*)
(2)
|
Mashlahah
= (1x2)
|
Marginal
mashlahah
|
1
|
700
|
700
|
700
|
2
|
700
|
1.400
|
700
|
3
|
700
|
2.100
|
700
|
4
|
700
|
2.800
|
700
|
5
|
700
|
3.500
|
700
|
6
|
700
|
4.200
|
700
|
7
|
700
|
4.900
|
700
|
8
|
700
|
5.600
|
700
|
*) pahala
sejumlah 700 ini hanya merupakan contoh ilustratif manusia beribadah tanpa
mempertibangkan manfaat yang akan di peroleh di dunia, sebagaimana amal
jariyah.
7
3.
Preferensi terhadap Mashlahah
Semua paparan yang disampaikan pada semua
bagian di depan belum mengakomodasi
Preferensi
konsumen terhadap mashlahah. Dalam bagian ini akan disampaikan bagaimana
perilaku konsumen dalam kaitannya dengan preferensi mereka.
Untuk mengetahui bagaimana perspektif
perilaku kelompok ini dlam hal dalam hal mashlahah, maka formulasi pada
persamaan 4.5 perlu dimodifikasi sedikit dengan memasukkan koefisien perhatian.
Frek.
kegiatan
|
Mashlah
Marginal
Y=0
|
Mashlahah
Marginal
Y=0,5
|
Mashlahah
Marginal
Y=1
|
Mashlaha
Marginal
Y=1,5
|
1
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2
|
8
|
81
|
710
|
5860
|
3
|
6
|
84
|
978
|
10479
|
4
|
4
|
75
|
1084
|
14043
|
5
|
2
|
58
|
1028
|
15717
|
6
|
2
|
59
|
1136
|
19013
|
7
|
0
|
33
|
864
|
17214
|
8
|
-2
|
1
|
430
|
12091
|
Tabel tersebut menunjukkan bahwa preferensi
terhadap mashlahah, betapapun kecilnya, mampu memperpanjang horizon preferensi.
Pada kolom 2 tabel diatas trelihat ketika preferensi terhadap mashlahah adalah nol,
besarnya mashlahahn marginal semakin menurun dan tingkat penurunan yang cepat.
4.
Hukum Penguatan Kegiatan dari Mashlahah
Secra spesifik bisa dikatakan bahwa
seandaimya tidak ada kandungan berkah dalam kegiatan, maka konsumen sudah
mengalami kejenuhan pada frekuensi kedelapan dalam melakukan kegiatan tersebut.
Dengan kehadiran berkah yang dirasakan oleh konsumen, maka titik kejenuhannya
akan mundur. Di sini tampak sekali bahwa kehadiran berkah yang dirsakan oleh
seorang konsumen akan memperpanjang rentang preferensi dalam melakukan kegiatan
tersebut di atas.
8
D.
Keseimbangan
Konsumen
Dalam dunia nyata, setiap pelaku ekonomi selalu
harus mengambil keputusan dalam mengosumsi sebuah barang/kegiatan. Akibat dari
keputusan tersebut sering menimbulkan implikasi pada penggunaan barang-barang
lain yang terkait.
1) Keterkaitan
Antarbarang
a. Komplemen
Hubungan yang bersifat komplemen ini mempunyai
derajat/tingkatan yang berbeda-beda antara pasangan barang yang satu dengan
pasangan barang yang lain. Perbedaan ini di sebabkan karena sifat barang yang
terkait dengan kegunaan barang yang bersangkutan. Adapun tingkatan dari
komplementaritas ini adalah sebagai berikut :
1. Komplementaritas
Sempurna
Tingkat ini terjadi jika konsumsi dari suatu barang
mengharuskan konsumen untuk mengonsumsi barang yang lain sebagai penyerta dari
barang pertama yng dikonsumsi.
2. Komplementaritas
dekat
Bisa digambarkan jika seseorang memakai suatu
barang, mka dia mempunyai kemungkinan yang besar untuk mengkonsumsi barang yang
lain.
3. Komplementaritas
jauh
Disebabkan karena hubungan antara kedua barang
adalah rendah.
b. Subtitusi
Sebagaimana dalam kasus hubungan complement,dalam
kasus ini juga mengenal adanya tingkatan/derajad substitusi, yaitu :
1. Substitusi
Sempurna
Hubungan antara dua buah barang dikatakan
substitusi sempurna jika penggunaan dua buah barang trsebut bisa ditukar satu
sama lainya tanpa mengurangi sedikitpun kepuasan konsumen dalam menggunakannya.
2. Substitusi
Dekat
Dua buah barang dapat dikatakan substitusi dkat
jika fungsi kedua barang tersebut mampu menggantikan satu sama lain.
3. Substitusi
Jauh
Dua barang dikatagorikan sebagai substitusi jauh
jika dalam penggunaanya konsumen bisa mengganti satu barang dengan barang
lainnya di sini menimbulkan perbedaan kepuasan yang mereka peroleh.
c. Domain
Konsumsi
Dalam konteks pilihan konsumen, maka jenis hubungan
yang akan di eksplorasi disini adalah hubungan yang bersifat substitute,
meskipun hubungan yang komplementari juga akan tetap ditampilkan.
9
2) Hubungan
Antarbarang yang Dilarang oleh Islam
Islam melarang adanya penggantian
(substitusi) dari barang atau transaksi yang halal dengan barang atau transaksi
yang haram. Selain substitusi barang haram terhadap barang halal seperti
tersebut, hokum islam juga menutup kemungkinan adanya komplementaritas antara
barang haram dan barang halal.
haram 60
50
40
30
20
10
1 3 5 7 9
Halal
Hubungan
Substitusi yang mustahil dalam islam
Islam melarang mencampurradukkan
antara barang atau transaksi yang halal dengan barang atau transaksi tang
haram.
3) Hubungan
Antarbarang dalam Islam
4) Permintaan
Konsumen
Dengan membandingkan antardua barang halal
substitusi, maka seorang konsumen mukmin dalam memilih barang yang
dikonsumsinya akan mempertimbangkan jumlah mashlahah yang akan diperolehnya
paling tinggi. Secara intuitif dapat disimpulkan bahwa jika terdapat
peningkatan mashlahah pada suatu barang/jasa, maka permintaan akan barang
tersebut akan meningkat, dengan menganggap factor lainnya tidak berubah.
10
E.
Hukum
Permintaan dan Penurunan Kurva
Berdasakan paparan yang disampaikan , maka
terlihat bahwa ketika harga barang A naik, sementara hal-hal lain tetap
konstan, maka jumlah barang A yang dikonsumsi harus turun. Inilah yang
melahirkan hokum permintaan yang berbunyi :
“ Jika harga suatu barang meningkat,
ceteris paribus, maka jumlah barang yang diminta menurun,demikian juga
sebaliknya.”
Pengertian ceteris paribus disini adalah
dengan mengganggap hal-hal lain tetap tidak berubah atau kostan, baik dalam
arti tingkat berkah, tingkat manfaat, preferensi, dan sebagainya. Jika satu dari
hal-hal lain yang dimaksud berubah, maka hokum permintaan diatas tidak lagi
berlaku.
P
17
16
D
0
4 6 Q
Permintaan
konsumen terhadap barang A
Ketika harga barang A adalah sebesar 16,
maka jumlah barang A yang diminta adalah 6 unit, sementara ketika harga barang
A naik menjadi 17, maka jumlah barang tersebut yang diminta oleh onsumen turun
menjadi 4.
11
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Preferensi seorang konsumen dibangun atas
kebutuhan akan mashlahah, baik mashlahah yang di terima didunia ataupun di
akhirat. Mashlahah adalah keadaan yang
membawa manusia pada derajat yang lebih tinggi sebagai makhluk yang sempurna.
Konsumen akan selalu berusaha untuk mendapatkan
mashlahah diatas mashlahah minimum. Mashlahah minimum adalah mashlahah yang
diproleh dari mengonsumsi barang/jasa yang halal dengan diikuti niat beribadah.
Keberadaan mashlahah akan memperpanjang rentang
dari suatu kegiatan halal.
Bagi orang yang peduli akan adanya berkah,
semakin tinggi barang halal yang dikonsumsi seseorang, tambahan mashlahah yang
diterimanya akan meningkat hingga titik tertentu dan akhirnya akan menurun,
dengam]n asumsi jumlah konsumsi masih dibolehkan oleh Islam.
Hokum permintaan menyatakan bahwa jika harga
suatu barang/jasa meningkat, maka jumlah barang/jasa yang diminta konsumen akan menurun, selama
kandungan mashlahah pada brang tersebut dan factor lain tidak berubah.
B.
Saran
Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan
moral agama Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin
tinggi moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan,
kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan
dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan bermanfaat bagi
kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan. Kedudukan harta merupakan
anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk.
diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar.
12
No comments:
Post a Comment